Potret Pendekar Pendidikan (Refleksi Hari Guru)

TIDAK bisa dipungkiri, citra dan wibawa guru pada masa kolonial lebih tinggi dibandingkan dengan guru sekarang ini. Masa itu, guru adalah profesi yang sangat diidam-idamkan. Tak heran jika sekolah keguruan menjadi incaran lulusan sekolah terbaik. Di samping fasilitas dan kemudahan yang diperoleh, status guru akan membawanya menuju strata atas dalam kelas masyarakat. Tidak sedikit guru yang kemudian sampai di puncak sebagai pimpinan masyarakat. (Prih Adiartanto, Menunggu kematian Guru)
Namun, kenyataan hari ini, citra dan wibawa guru malah masih jauh dari masa kolonial. Yang berarti terjadi kemunduran. Betapa menyedihkan ketika menyimak berita di media-media, seorang guru harus ‘rangkap jabatan’, dengan menjadi tukang ojek, peternak, demi menyambung kepulan asap dapur rumahnya. Tradisi ini masih berlangsung sampai hari ini.
Lain lagi dengan kisah yang terjadi di Aceh belakangan. di Aceh selatan, sebagaimana dirilis Serambi Indonesia (16/8/2012), seribuan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terpaksa harus turun ke ‘lapangan’ untuk menagih haknya. Sangat disayangkan, kasus macetnya dana guru, terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota dan terus berulang setiap triwulannya.
Di Simeulu, misalnya, Para guru sertifikasi mengeluh akibat belum dibayarnya gaji mereka sejak akhir tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2012. Belum lagi cerita di Gayo Lues, Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie Jaya, dan Sabang, yang begitu menyesakkan dada.
Kasus serupa tidak hanya menimpa para guru yang sudah berstatus PNS, para honorer pun ikut merasakan pedihnya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Di Aceh Utara, sedikitnya 2.165 guru bakti murni, yang sering juga disebut-sebut sebagai tenaga HLT (Honor Lillahita’ala) harus ‘makan hati’ setiap bulannya. Padahal, dana yang mereka terima pun hanya Rp. 300.000 per bulan. Belum lagi kisah-kisah pilu yang tidak mencuat ke media. Benar pesan Iwan Fals dalam lagunya, “Guru umar bakri, setiap hari makan hati”
Melihat Fenomena diatas, rasanya tidak ada yang salah dengan prestasi yang ditoreh para pendidik kita di tingkat Nasional beberapa waktu yang lalu, yaitu dengan menempati posisi di urutan ke 28 Nasional dari 33 Provinsi pada ajang Uji kompetensi Guru. Bagaimana mungkin berharap para cek gu mampu menempati urutan sepuluh besar saja, sedangkan untuk mendapatkan haknya harus berteriak-teriak dibawah sengatan matahari, harus mengumpulkan ribuan masa, dan menjelma menjadi para demonstran.
Rasanya tak ada yang beda dengan yang dilakukan para buruh, para tukang becak, para sopir dalam menyampaikan aspirasinya. Inilah potret ‘Pendekar Pendidikan’ kita, yang katanya satu profesi yang berada di garda terdepan dalam mengeluarkan negeri ini dari keterpurukan yang sudah berada pada titik nadir.
Mereka (guru) selalu menjadi sasaran utama ketika mutu pendidikan dinilai rendah; guru tidak professional, guru tidak bertanggung jawab, tidak layak mengajar, dan dakwaan-dakwaan lain yang menyudutkan para guru. Berhentilah untuk menyalahkan guru, tapi mari sama-sama kita memberikan apresiasi, memperhatikan kesejahteraannya, Dan pemberian pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme guru pun juga tidak sebatas melaksanakan ‘proyek’ yang sudah menjadi rahasia umum.
Guru Sebagai Agen Perubahan
Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (id.wikipedia.org). “As is the state, so is the school” (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah). Ungkapan ini menggambarkan betapa sekolah merupakan tolak ukur suatu Negara. Sekolah amburadul, berarti negara ini memang sedang dalam kondisi amburadur. Namun, jika sekolah baik, berarti kondisi negara juga dalam keadaan baik. (Dalam Calak Edu Esai-Esai Pendidikan 2008-2012 Hal. 45)
Para ‘pemain’ didalam sekolah tidak lain adalah guru. Sehingga tidak salah jika guru dinobatkan sebagai agen perubahan. Yang berarti, perubahan pada diri bangsa ini terletak di tangan guru. Namun demikian, tanpa dukungan semua pihak, guru tak ubahnya seperti seorang prajurit yang dilepas ditengah medan pertempuran.
Hari Guru
Hari guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November, setidaknya menjadi momen untuk mengevaluasi sejauh mana keagungan, keistimewaan, kesejahteraan, akan profesi guru. Ahmad Baedowi (2012), menggambarkan betapa mulia dan abadinya menjadi guru di Jepang. Adalah dua orang professor dari Hiroshima, Yuji Uesugi dan Yukiko Harakawa, bercerita  kepada anak-anak di Sekolah Sukma Bangsa, bahwa kebanggaan terbesar dalam hidup mereka adalah menjadi guru.
Prof. Yuji Uesagi bercerita bahwa di jepang, pertemuan antara siswa dan guru selalu dilakukan secara rutin, terus-menerus, dan berkesinambungan. adalah penting dalam tradisi orang jepang, untuk selalu menghargai guru dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan bertemu dan menjalin komunikasi setiap saat. Hampir tak terbayangkan, seorang professor, masih suka bermain dengan gurunya ketika masih SD, SMP, dan SMA, hingga perguruna tinggi. Bagaimana dengan di Aceh? Wallahu a’lam bissawab
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Belum ada Komentar untuk "Potret Pendekar Pendidikan (Refleksi Hari Guru)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel