Mengajar Akhirat



Kali ini, tulisannya agak sedikit berat, apalagi nanti sedikit tersentil ke arah agama. Tapi pada prinsipnya, hanya mencoba mengulas fenomena yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Anda sepenuhnya boleh sepakat atau tidak. Jika Anda sepakat, bukan berarti tulisan ini bernilai benar, dan jika tidak sepakat, tidak pula tulisan ini bernilai salah. Karena benar dan salah ada di sudut pandang masing-masing. 

***
Akun Facebook Ummu Sholihah Aamiin (selanjutnya disingkat USA) menulis, ‘30 Juz atau 30 Miliar?’. Yang bersangkutan menyimpulkan, 30 juz adalah akhirat, 30 M adalah dunia. Dalam tulisan singkatnya, USA membandingkan kejeniusan dua orang anak. 

Adalah Hamza el Habasy, seorang anak keturunan Arab, domisili Amerika Serikat. Sang anak berhasil mendapatkan juara 1 hafalan 30 juz di Amerika Serikat dan masuk 5 besar tingkat dunia di Dubai. Anak satu lagi, Tanmay Bakhsi, keturunan India, domisili Kanada, yang akhirnya direkrut perusahaan raksasa dunia google, dengan gaji miliaran. (tagar.id menyebutkan 16.5 M per tahun-pen)

“....Keduanya terlahir dari keluarga yang berorientasi dan visi misi super. Yang satu dalam urusan akhirat, satu lagi urusan dunia. Sejak usia 5 tahunan, keduanya sudah dikenalkan ilmu; satu ilmu Al Quran, satu lagi ilmu komputer....”

Dari tuliasan singkat tersebut, mendatangkan 3.4K like, 107 komentar, dan 6.4K share. Umumnya, diantara emak-emak yang berkomentar, memilih 30 Juz. Dalam tafsiran yang lain memilih akhirat yang kekal abadan abadi. Tak sedikit juga yang berani melawan arus, yaitu memilih 30 M.

Dua pilihan di atas tidak sama dengan ‘mau pilih mana, surga atau neraka?’ surga atau neraka memiliki nilai kontradiksi atau berseberangan. Yang satu ‘manis’ satu lagi ‘pahit’. Sejatinya, ketika memilih, adalah dihadapkan pada nilai yang berseberangan; cantik atau jelek, kaya atau miskin, gemuk atau kurus, hitam atau putih, dan seterusnya.

Sedangkan pada pilihan 30 juz atau 30 M, tidak bernilai berseberangan. Artinya, dua nilai tersebut dapat dileburkan, menjadi 30 juz dan 30 M, atau 30 M dan 30 Juz. (penggunaan kata ‘dan’)

Baiklah, yang di atas baru pembuka saja, semacam latar belakang. Huuuuaaaammmmm...... mari kita lanjut. Jika sudah lelah, istirhat dulu, utamakan keselamatan. 

***
Ada satu kesimpulan yang dipegang teguh oleh sebagian orang. Dimana, mengerjakan segala sesuatu yang terlihat menyembah Allah, itu dikategorikan akhirat, selebihnya bernilai dunia. Sehingga ada banyak hal yang, akhirnya harus diklasifikasikan. Melanjutkan pendidikan ke pesantren, akhirat. Sedangkan ke kampus, dunia. Menjadi penghafal Alquran, akhirat. Menjadi programer, dunia. Mengaji Alquran (dan kitab), akhirat. Membaca buku, dunia.   

Klasifikasi (pengkotakan) seperti di atas akan terus didengungkan, dengan cara-cara yang mulus, bahkan sama sekali tidak terlihat atau tanpa kita sadari. Konsekuensi logis yang akan kita terima atas klasifikasi tersebut adalah kemunduruan dalam segala aspek.

Lihatlah hari ini, betapa gencarnya kampanye berbelanja di supermarket muslim, setelah hadirnya 212 mart. Itu menandakan, telah lama dan panjang, ekonomi kita di pegang oleh ‘orang lain’.

Ustad Ilyas, Lc., Kepala MA Ulumuddin, Kota Lhokseumawe, pernah menyentil saya begini: “Alumni mesir itu tidak hanya pintar mengadah tangan ke langit (berdoa), tapi juga lihai di lapangan” sentilan tersebut menjawab tantangan saya ketika mengajaknya bermain Badminton. Sebuah gurauan, tapi menjelaskan banyak hal; akhirat itu bukan hanya di masjid, tapi berolahraga—jika diniatkan untuk kesehatan tubuh—juga bernilai akhirat.

Dalam sebuah diskusi dengan Ustad Abdurrahman, dosen Stikes Darussalam, kota Lhokseumawe, bercerita tentang bagaimana beliau menyiapkan anaknya untuk menjadi hafidz Alquran. Katanya, “saya hanya akan mengatur anak saya selama proses menghafal Alquran. Selebihnya, jika dia sudah hafidz, saya berikan kebebasan baginya untuk memilih jalan hidupnya. Mau jadi arsitek, silakan. Mau mendalami ilmu pertanian, silakan. Mau jadi pengusaha, silakan. Mau jadi politisi, silakan,” sambungnya, “kalau Alquran sudah di dada, apapun profesinya akan membawa kemaslahatan bersama”.

Bangsa ini butuh banyak sutradara film yang, nantinya akan berdakwah lewat karya film-nya. Bangsa ini butuh banyak animator yang, nantinya akan berdakwah lewat karya animasinya. Bangsa ini butuh banyak android developer yang, nantinya akan berdakwah lewat produk digitalnya. Bangsa ini butuh banyak pengusaha muslim yang, zakatnya akan menyejahterkan kaum fakir. Bangsa ini butuh banyak politisi yang, kebijakannya akan berpihak pada rakyat kecil dan takut korupsi.

Bangsa ini butuh generasi islam dengan beragam latar profesi yang, tertancap Alquran dan Garuda di dadanya. Alquran sebagai benteng diri dan keberagaman, Garuda sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

***

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah pengalaman mudik tahun ini (2018) di dalam kapal Ferry KMP Teluk Sinabang. Saya kecewa dengan seorang Ayah (Abi) yang “memarahi” anaknya—berumur sekitar empat tahunan—karena  asik bermain (gadget). Kata Abinya, “Abang sibuk main saja. Dari tadi main saja. Menonton. Abang harus muraja’ah, sekarang an-naba saja sudah lupa, karena asik main. Sudah cukup. Sini hapenya”

Lalu, kenapa saya harus kecewa? Karena semua video yang ditonton oleh anaknya, saya juga ikut menonton—kebetulan saya berada dibelakang anak. Hampir semua video berisi konten positif yang mengajarkan anak banyak hal. Seperti, dalam sebuah video dijelaskan nama-nama planet, lalu di planet tersebut, keluar huruf hijaiah. Bukankah huruf hijaiah itu baik?

Dalam video yang lain, ada petualangan binatang di hutan. Seekor kera membantu monyet yang patah kakinya karena jatuh dari pohon. Bukankah saling membantu diajarkan Rasulullah? Dan bagian dari pesan rahmatan lil’alamin?

Begitulah, ada oknum masyarakat yang mengkotakkan antara dunia dan akhirat. Antara belajar agama (mengaji) dan bukan agama (selain mengaji). Kotak-kotak ini akan terus berkembang di masyarakat, bahkan hingga pada fase yang sangat parah; jika begini surga, jika begitu neraka.

Wallahuaklam bissawab

Sinabang, 12 Juni 2018
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

1 Komentar untuk "Mengajar Akhirat"

  1. اينما توجد المصلحة فثم شرع الله

    Di mana ada kemaslahatan, maka di sana ada syari'at Allah.

    Walau pada dasarnya hal itu adalah dunia, maka dia akan menjadi ukhrawi bila di sana ada diperdapatkan hal-hal positif, dan juga tidak lepas dari niat yang ikhlas dan baik.

    Mantap that asoe tulisan cekgu 😊😊😊

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel