Belajar Dari Rumah: Antara Dilema dan Harapan Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19
Ada banyak kisah sukses di balik penggunaan internet. China berhasil mengalahkan Covid-19, salah satunya dengan big data, yang diakses secara online. Dengan aplikasi Alipay Healt Code, pergerakan virus dapat terpantau secara real time. Hanya dengan satu aplikasi, mereka mampu mengontrol 1 miliar warganya.
Jauh
sebelum pandemi Covid-19, telah lahir alat yang disebut dengan Learning Management System (LMS). Pada
tahun 1990, FirstClass yang dirilis oleh SoftArc menjadi LMS pertama di dunia (worldmanager.com).
Hingga kemudian berkembang menjadi berbasis open
source. Salah satunya yang paling populer adalah Moodle. Perkembangan LMS sangat pesat, sejak 2008, sudah
berkembang hingga berbasis cloud.
Kehadirannya,
tentu saja untuk memudahkan. Hingga ratusan negara telah tertarik dan kini
menggunakan LMS sebagai ruang kelas
virtual. Di Amerika Serikat, misalnya, salah satu aplikasi belajar online yang paling banyak digunakan
adalah Edmodo. Perusahaan yang bermarkas di San Mateo, California, AS, telah
digunakan oleh lebih dari 100 juta pengguna yang tersebar di 400.000 sekolah di
190 negara. (inet.detik.com)
Di
Indonesia
kita mengenal banyak sekali aplikasi yang telah sukses digunakan. Diantaranya
ada Ruangguru, Rumah Belajar, Quipper, Zenius, Google Classroom, dan yang
terbaru dirilis oleh Tekkomdik Aceh (anak dari Rumah Belajar), adalah SiJempol
Aceh. Ini menunjukkan bahwa secara sistem, kita telah sangat siap. Belum lagi e-learning yang digunakan oleh
masing-masing sekolah. Lalu, apakah kita telah benar-benar siap?
Tantangan di Indonesia
Negara
luas yang bernama Indonesia memiliki paling sedikit 221 ribu sekolah, dengan
2,7 juta guru, dan 45 juta siswa, tersebar di 34 provinsi (kemdikbud.go.id). Melihat sebaran data (sekolah) yang sangat
tinggi, tentu bukan perkara mudah dalam memastikan Belajar Dari Rumah (BDR)
berjalan maksimal. Fasilitas infrastruktur teknologi, seperti Satelit, Jaringan/Wi-Fi,
perangkat komputer/laptop, dan perangkat mobile,
masih belum memadai.
Di sisi lain, Indonesia menunjukkan
tren positif dalam jumlah pengguna internet. Berdasarkan laporan We Are Social, tahun 2020 disebutkan ada
175,4 juta pengguna. Dari total populasi sebanyak 272,1 juta jiwa, artinya 64
persen masyarakat Indonesia telah terkoneksi ke jaringan internet (inet.detik.com). 91 persen rentang usia
pengguna internet berada pada 15–19 tahun, atau kaum milenial, mereka yang sedang
berada di bangku sekolah. Pun demikian, harus diakui bahwa masih besar sekali
ketimpangan akses, atau yang disebut dengan digital
gap. Ini seakan memperdalam ketimpangan kualitas pendidikan antar kelompok:
yang miskin semakin termarginalkan. Ada wilayah yang sudah memiliki jaringan
internet, tapi karena biaya yang tidak murah, sehingga tidak sanggup berlangganan
atau membeli paket data.
Sebagai
contoh, penggunaan aplikasi Zoom (atau sejenisnya) dalam membangun interaksi
secara live. Zoom mampu menjadikan
ruang kelas virtual layaknya kelas tatap muka. Fitur yang tersedia, hampir
semuanya mampu menggantikan tatap muka di kelas. Namun sayangnya, biaya untuk
mengakses Zoom tidaklah murah. Sebagaimana rilis merdeka.com, untuk panggilan grup video Zoom selama 1 jam,
menghabiskan paket data sekitar 1,35GB. Untuk area Aceh (Sumatera) contohnya, dengan
berlangganan paket Telkomsel 33GB selama
30 hari harus merogoh kocek Rp. 155.000.
Apalagi
jika seorang siswa (dan guru) harus menggunakan lintas aplikasi. Misalnya,
perlu WhattAps untuk komunikasi, Google Classroom untuk distribusi tugas, Zoom
untuk membangun live interaksi, Streaming Youtube untuk mencari tambahan
materi, dan kebutuhan untuk searching.
Maka
disinilah peran pemerintah untuk menurunkan biaya paket data internet. Ini mungkin
dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan penyedia jasa internet dan
aplikasi online. Sehingga kemudian,
adanya satu paket data pendidikan, yang bisa mengakses aplikasi-apalikasi pembelajaran
online. Katakanlah, misalnya, paket Smart Edu 10GB, dapat mengakses aplikasi
A, B, C dan D, berlangganan selama 30 hari, dengan biaya Rp.30.000. sekali lagi
ini sebagai contoh, sekalipun terlalu teknis untuk ditulis.
Data Sebagai Solusi
Sayangnya,
saat ini Indonesia masih belum serius dalam menangani permasalahan BDR. Ini
terlihat dari tidak adanya data yang akurat akan peta sebaran sekolah yang siap
dan tidak siap dalam pelaksanaan BDR. Baik dari segi infrastrukur (jaringan
internet), keterampilan digital guru, hingga kemampuan (biaya) akses
internet. Sehingga, pola yang muncul
masih gaya lama: potong rata, alias solusi sapu jagad. Satu solusi untuk semua
permasalahan.
Pertama
mari kita lihat untuk studi kasus Aceh. Berdasarkan data dari kemdikbud.go.id, verifikasi tanggal 13
Mei 2020, Aceh memiliki 5.484 sekolah, 85.651 guru, dan 868.742 siswa. Nah,
pertanyaan pertama adalah apakah
semua sekolah di Aceh siap melaksanakan BDR? Tentu tidak. Lalu, ada berapa
sekolah yang belum siap? Tersebar di mana saja? Status sekolah negeri atau
swasta? dan jenjang mana saja?
Pertanyaan
yang kedua, dari jumlah guru yang
ada, bagaimana peta keterampilan digital guru? Apakah guru-guru kita siap melaksanakan
BDR? Bagaimana persepsi guru terhadap aplikasi pembelajaran online? Apa kendala yang mereka hadapi?
Ini sayangnya, kita tidak punya data. Begitu juga pertanyaan ketiga, bagaimana kemampuan ekonomi
siswa dan guru dalam menyiapkan paket data intenet?
Tiga
pertanyaan utama di atas,
menjadi keyword dalam menjawab
seperti apa kondisi BDR yang sudah berlangsung sejak maret lalu. Jika
pertanyaan di atas
tidak bisa dijawab, berarti begitulah semrautnya BDR saat ini. Satu kabar baik
yang telah secara cepat dilakukan Kemdikbud adalah revisi juknis Bantuan Operasional
Sekolah (BOS): melegalkan penggunaan dana BOS untuk pengadaan paket data
internet. Ini perlu kita apresiasi.
Data
memiliki korelasi kuat dengan arah kebijakan. Apa yang menjadi prioritas di DKI
Jakarta akan sangat berbeda dengan di Aceh. begitu juga apa yang dilakukan di
Banda Aceh, akan sangat berbeda dengan apa yang harus dilakukan di Simeulu.
Menarik
membaca riset yang dilakukan oleh Mailizar dkk., Sebagaimana publish di ejmste.com, terhadap 158 guru matematika SMP di Indonesia, dalam
melihat hambatan implementasi e-learning.
Dalam jurnalnya, Mailizar dkk. memetakan 4 rumusan masalah; (1) pada diri guru,
(2) pada sekolah, (3) kurikulum, dan (4) pada diri siswa. Berdasarkan data yang
disajikan (rumusan masalah), menurut guru (responden), hambatan terbesar pada
diri siswa, yaitu karena tidak memiliki alat (devices) untuk akses internet, serta tidak memiliki keterampilan menggunakan
aplikasi e-learning. Hambatan terbesar
pada sekolah, tidak adanya koneksi internet dan tidak memiliki aplikasi e-learning. Hambatan terbesar pada diri
guru, tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam menggunakan e-learning. Sedangkan pada kurikulum,
guru menyebutkan, bahwa pelajaran matematika sangat susah untuk diajarkan
secara e-learning.
Secara
lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel
1: Hasil deskriptif hambatan implementasi e-learning
(Mailizar dkk., 2020)
Tantangan Sekolah dan Guru
Tak
lama setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar
Makarim, mengeluarkan sebuah maklumat Merdeka
Belajar. Konsep Merdeka Belajar adalah memberikan kebebasan kepada setiap
Satuan Pendidikan untuk berinovasi. Nadiem meyakini, sukses pendidikan, tidak
mungkin hanya ditangani dengan satu cara saja. Tapi butuh banyak inovasi.
Pembelajaran
di masa pandemi ini, harusnya menjadi laboratorium sekolah dan guru dalam
menerapkan konsep Merdeka Belajar. Apalagi setelah lahirnya Surat Edaran Nomor
4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat
Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19), yang menyebutkan kegiatan
pembelajaran dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna
bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum
untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.
Harusnya
dengan edaran diatas, kegiatan jadi lebih santai dan bermakna, karena tidak
dikejar oleh kurikulum. Ini menjadi momen terbaik untuk mengibarkan bendera kreativitas
di ruang kelas virtual.
Pengalaman
Sekolah Sukma Bangsa, di dua minggu pertama BDR, semua mata pelajaran
mengaitkan materi ajar dengan Covid-19. Biologi misalnya, belajar proses
infeksi Covid-19 terhadap kerja paru-paru serta memprediksikan apa yang akan
terjadi pada kerja sistem tubuh lainnya. Kimia, mempelajari bahan alam yang
dapat digunakan untuk pembuatan hand
sanitizer serta mempraktikkannya, juga mempelajari senyawa golongan
flavonoid dan fungsi senyawa tersebut yang terdapat dalam kulit jeruk sebagai
penangkal Covid-19.
Matematika,
belajar data (statistika) persebaran Covid-19. Sejarah, belajar bagaimana
pengalaman perjalanan dunia dalam berbagai macam serangan wabah; salah satunya
Flu Spanyol. Ekonomi, belajar bagaimana inflasi terjadi. Siswa menganalisis
kebijakan apa yang harus dilakukan pemerintah juga langkah apa yang harus
dilakukan siswa mengatasi inflasi. Dan seterusnya hingga semua mata pelajaran.
Hal
lain yang bisa dilakukan adalah inisiasi proyek gabungan beberapa mata
pelajaran. Sehingga, beban belajar siswa dan mengajar guru menjadi berkurang.
Proyek kolaborasi ini membuat para guru bisa bekerja sama menurut kesamaan
Kompetensi Dasar yang ada di mata pelajaran masing-masing dan membuat mata
pelajaran yang diselesaikan siswa menjadi tergabung dari sekitar 14-16 mata
pelajaran menjadi cuma sekitar 7 mata pelajaran kolaborasi. Ini telah berhasil
kami praktikkan di Sekolah Sukma Bangsa.
Dalam
praktik lainnya pelaksanaan BDR, tidak juga harus fokus pada aspek kognitif
saja. Penting juga untuk pembentukan ranah afektif dan psikomotorik. Seperti
aktivitas membersihkan rumah, membersihkan kendaraan, melakukan aktivitas
olahraga, dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan penulis dari laporan harian
Kepala Sekolah kepada Dinas Pendidikan, betapa sakleknya pelaksanaan BDR di
kebanyakan sekolah. Dinas Pendidikan menuntut guru dengan pembelajaran yang
sangat mendewakan kuantitatif, dan mengabaikan kualitatif. Akhirnya, guru
memberikan tugas kepada siswa hanya berada di level LOTS (Lower Order
Thinking Skills). Siswa menjadi terbebani dan yang lebih parahnya
karena miskin kualitas sehingga menjadi tak bermakna. Tak heran, jika KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
menerima sedikitnya 213 kasuh aduan terkait pembelajaran online.
Keberadaan
guru di Indonesia, selain menjadi agen transfer knowladge, harusnya juga menjadi duta Covid-19. Guru sebagai duta
yang akan membangun optimisme. Sehingga, Indonesia punya banyak duta pembawa
optimis. Terutama mengampanyekan kepada siswa, dan siswa mengampanyekan kepada
masyarakat. Khususnya yang berhubungan dengan pencegahan. Aktivitas kampanye
yang dilakukan guru dan siswa, itulah yang menjadi pembelajaran (materi) wajib
di sekolah. bukan menuntut kepala sekolah untuk pasang spanduk di pagar
sekolah. ini belum terlambat untuk dilakukan, ferguso!
Orang Tua Wajib Terlibat
Tak
bisa dipungkiri, BDR menyisakan banyak permasalahan. Terutama keluhan dari orang
tua (ortu) dalam mendampingi proses pendidikan anak. Ada ragam kendala yang
dihadapi, mulai dari ortu yang juga melaksanakan Work From Home—yang artinya juga disibukkan dengan pekerjaannya,
ketidakmampuan secara ilmu pengetahuan dalam proses transfer materi kepada
anak, hingga dalam mendisiplinkan anak untuk mengikuti agenda belajar harian.
Kendala yang muncul, berbeda antar jenjang pendidikan. Peran ortu akan lebih
besar di jenjang yang lebih rendah. Sehingga komunikasi yang intens antara guru
dengan ortu menjadi mutlak.
Dalam
kondisi melewati hari-hari sulit ini, tak ada pilihan lain, selain
mengembalikan pendidikan ke rumah masing-masing. Ini saat dimana kodrat orang
tua kembali berperan sebagai guru dan
kepala sekolah bagi anaknya. Dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja harus
dibarengi dengan pengetahuan dan kemampuan manajerial dan pedagogi yang baik.
Seperti membuat rencana belajar, memberikan pelayanan, pendampingan, hingga
memberikan motivasi. Yang tak kalah penting adalah sabar dalam menikmati setiap
proses. Sekolah dapat menginisiasi beragam kegiatan, seperti mengenalkan konsep
pengasuhan digital parenting.
Ini
tidak mudah memang, tapi harus dijalani. Ada meme kocak yang viral setelah BDR
dilaksanakan. Dua orang anak sedang berkomunikasi lewat telepon, “Gimana
rasanya belajar dari rumah?”, “Aku tak sanggup lagi. Mamaku lebih galak dari
ibu guru. Bawaannya marah melulu”.
Libatkan Universitas dan Organisasi
Penggerak
Kabar
baik pada pemerintahan Jokowi jilid II, Dikti kembali sepayung dengan kemdikbud.
Ini menjadi kolaborasi maut dalam berperang melawan Covid-19 di rumah-rumah
sekolah. Keberadaan Universitas menjadi penting; terutama dalam hal riset (merumuskan
masalah), pengembangan keterampilan digital guru, dan segala hal yang perlu
dikembangkan berdasarkan hasil rumusan masalah. Kekuatan akan semakin sempurna
jika organisasi penggerak juga ikut terlibat. Mau tidak mau, harus kita akui,
kehadiran Ikatan Guru Indonesia (IGI), misalnya, telah menambah semangat belajar
guru untuk meningkatkan kapasitasnya. IGI menggerakkan dalam banyak aspek. Baik
literasi, maupun digitalisasi.
Sejauh
ini, yang menjadi fokus perhatian ketika Covid-19 menyerang, adalah pada bidang
kesehatan. Seluruh Universitas di Indonesia terlibat dalam membantu pemerintah.
UGM misalnya, terbitkan Buku Saku Digital Cegah Covid-19. UI Kembangkan Bilik
Disinfeksi Cepat untuk Cegah Covid-19. Unsyiah lahirkan Laboratorium Penyakit Infeksi
yang siap uji swab covid-19. Semua bahu membahu untuk melawan covid-19 di
bidang kesehatan. Yang terlupakan, adalah bidang pendidikan. Ini mungkin karena
kerugian yang timbul tidak dapat dikonversi dalam bentuk materi ataupun
nyawa.
Apa
yang dilakukan Mailizar dkk., sebagaimana yang telah tersebut diatas, bisa
menjadi contoh untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Setiap Universitas
bertanggung jawab terhadap sekolah yang ada di wilayah Universitas. Untuk kasus
Aceh misalnya, Unsyiah dan UIN bertanggungjawab di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh
Jaya, dan Sabang. UTU bergerak di Area Barat. Unimal di pesisir utara. Unsam di
pesisir timur, dan sebagainya. Semakin real
data yang diperoleh, semakin tepat sasaran arah kebijakan yang dilakukan. Demam
yang disebabkan karena positif corona, obatnya bukan paracetamol.
Inilah
masa dimana setiap kita menyalakan lilin, bukan mengutuk kegelapan. Semua harus
terlibat. Semua harus dilibatkan. Setiap guru, orang tua, masyarakat, dituntut
untuk memberikan sumbangsih, merevolusi diri sendiri, dituntut untuk berbuat, berinovasi,
dan menggerakkan. Saatnya masing-masing kita persiapkan diri menyambut sistem
belajar masa depan.
Zubir,
Guru Informatika SMAS Sukma Bangsa Lhokseumawe. Email: cangpanah@gmail.com.
DAFTAR PUSTAKA
Worldmanager.com. What
Was the First LMS Platform?. Diakses pada 11 Mei 2020, dari https://www.worldmanager.com/resources/first-lms/
Detik.com. (2019, 18
Juli). 6 Fakta soal Edmodo, Aplikasi Kelas Sekolah Online yang Populer di AS.
Diakses pada 12 Mei 2020, dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4607260/6-fakta-soal-edmodo-aplikasi-kelas-sekolah-online-yang-populer-di-as
Kemdikbud.go.id.
Jendela Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses pada 13 Mei 2020, dari http://jendela.data.kemdikbud.go.id/jendela/
Detik.com. (2020, 20
Februari). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia. Diakses pada
13 Mei 2020, dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia
Theconversation.com. (2020,
2 Mei). Riset dampak COVID-19: potret gap akses online ‘Belajar dari Rumah’
dari 4 provinsi. Diakses pada 14 Mei 2020, dari https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534
Merdeka.com. (2020, 16
April). Ini Kuota Data yang Terpakai Untuk Group Call Zoom dan Hangout Meet,
Sudah Tahu?. Diakses pada 14 Mei 2020, dari https://www.merdeka.com/teknologi/ini-kuota-data-yang-terpakai-untuk-group-call-zoom-dan-hangout-meet-sudah-tahu.html
Surat Edaran Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang
Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus
Disease (Covid-19).
Mailizar dkk. 2020. Secondary
School Mathematics Teachers’ Views on E-learning Implementation Barriers during
the COVID-19 Pandemic: The Case of Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics,
Science and Technology Education. (16) 7: 5
Belum ada Komentar untuk "Belajar Dari Rumah: Antara Dilema dan Harapan Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19"
Posting Komentar