Ingat Covid, Ingat (foto pakai) Masker
Gebrak Masker Aceh (GEMA) baru saja usai digelar di seluruh pelosok Aceh, pada 4 September 2020. Niat yang diusung pada program GEMA adalah memutus mata rantai penyebaran covid-19. Maka, pantaslah jika apresiasi setinggi-tingginya dialamatkan untuk Pemerintah Aceh. Tersirat sebuah pesan dalam kata GEMA yang menjadi branding kegiatan, hendaknya menggema di seluruh kuping masyarakat, menjadi perbincangan, dan mampu mengubah perilaku.
Tak
tanggung-tanggung, dalam hajat menyukseskan program, melibatkan 19.735 orang.
Terlihat di lapangan, berdasarkan utusan dari masing-masing institusi, hampir
bisa disebutkan angka partisipasi yang terlibat, jauh lebih banyak dari data
diatas kertas. Sasaran yang dibidik, untuk seluruh masyarakat Aceh yang saat
ini terdata 5,2 juta jiwa lebih.
GEMA seakan
menjadi jawaban pada masyarakat luas, bahwa Pemerintah Aceh berbuat sesuatu
untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Tak bisa dipungkiri, ada ragam
sambutan dari masyarakat terhadap apapun yang sedang dikerjakan. Ketika
Pemerintah Aceh ‘terlihat’ tidak melakukan gebrakan apapun, rakyat bertanya
kemana dana refocusing yang jumlahnya 2.3 Triliun itu. Ketika sudah melakukan
satu ikhtiar—dan secara besar-besaran dikampanyekan—rakyat pun masih bertanya
efektivitas dari program yang dijalankan.
Atas nama
ikhtiar, penulis sendiri mengapresiasi dan menyambut baik. Dalam tulisan singkat
ini, penulis yang terlibat langsung di lapangan, ingin berbagi pandangan dari
berbagai perspektif. Beberapa hal yang menjadi catatan positif di lapangan, dan
tentu saja catatan evaluasi untuk Pemerintah Aceh.
Pertama, Ada konsep positif—dalam
pandangan saya—yang dipegang oleh Sekda Aceh, Taqwallah, sosok dibalik GEMA. Konsep
itu adalah, uang bukan segala-galanya untuk melakukan apapun. Para penggerak
yang jumlahnya belasan ribu itu, tidak dibekali amplop uang lelah. Tapi diajak
untuk setiap penggerak berkontribusi sekecil apapun pada Aceh, tidak sanggup
dalam bentuk uang, dapat menyumbang dalam bentuk tenaga dan pikiran. Dalam
rapat, beberapa kali para keuchik mempertanyakan uang minum untuk hari-H, tapi
jawabannya adalah, bantulah Aceh, selemah-lemahnya, dalam bentuk tenaga.
Kedua, memilih masjid sebagai tempat
syiar, adalah sebaik-baiknya tempat. Khatib menyampaikan khutbah sesuai dengan
yang telah dikonsep oleh MPU Aceh. Serentak di 3.883 masjid seluruh Aceh, pesan
renungan untuk peduli pada kesehatan diri, kesehatan orang lain, dan menghindar
dari wabah, digemakan. Dalam keadaan iktikaf, pesan akan mudah masuk, apalagi
jika disampaikan oleh seorang Mubaligh.
Ketiga, semua pihak bertanggungjawab.
Mulai dari unsur TNI, Polri, Keuchik, Aparatur Gampong, Tgk Imum, Tenaga Medis,
LSM, Ormas, Sekolah, dan banyak lagi. Ini menunjukkan bahwa, Pemerintah Aceh
telah mendeklarasikan perang terhadap Covid-19. Dan semua harus ikut berperang,
setidaknya tidak menjadikan diri sebagai musuh (carrier).
Gebrak Masker, Pilihan Terbaik?
Dari kata dasar,
gebrak bermakna pukul. Turunannya, yaitu gebrakan, bermakna tindakan keras
untuk menakuti, atau tindakan yang berani (yang tidak diperkirakan sebelumnya
oleh orang lain). Jelas saja, dari nama dan aksinya, GEMA, adalah sebuah aksi
yang sangat berani, di tengah lonjakan kasus dan ditengah himbauan untuk tidak
mengumpulkan masa—jaga jarak.
Prof. Human
Hamid, dalam tulisannya yang memiliki 2 seri, seperti dimuat serambinews.com, dengan
penuh emosi menantang program Gebrak Masker, yang menurutnya, menyalahi dari
Panduan WHO.
Mari kita lihat
bagaimana kondisi di lapangan. Pertama,
Banyaknya penggerak yang terlibat, menyulitkan dalam mengatur tingkah laku mereka.
Apalagi mereka bukanlah orang terpilih yang secara karakter telah siap mensyiarkan
pesan pemutusan mata rantai melalui contoh teladan. Karena Idealnya, penggerak
adalah orang yang memberi contoh. Bukan hanya tukang bagi stiker, atau brosur,
atau pasang spanduk. Terdapat tiga pesan utama yang ingin dicapai—sebagaimana
tertuang dalam brosur/stiker/spanduk; Pakai masker, jaga jarak, dan cuci
tangan.
Sayangnya,
banyak sekali dari penggerak, tidak mampu memberi contoh teladan penggunaan
masker yang benar. Pun begitu juga dalam hal jaga jarak, ini sangat kacau
balau. Kondisi ini, secara tidak langsung, penggerak telah mensyiarkan kepada
masyarakat bahwa kegiatan yang sedang berlangsung (GEMA) adalah seremonial
belaka. Belum lagi jumlah masker yang dibagi sangat sedikit, tidak sesuai
dengan jumlah masyarakat Aceh yang mencapai 5.2 juta jiwa lebih. Satu juta
masker yang akan dibagikan untuk 6.497 gampong, maka setiap gampong hanya
mendapat 154 lembar.
Kedua, GEMA adalah program Pemerintah
Aceh, yang artinya program dengan sumber dana refocusing APBA yang jumlahnya
2,3 triliun. Harusnya, dalam kondisi ketersediaan dana, Pemerintah Aceh tidak
perlu ‘meudaheh’ pada desa-desa atau
pada 808 SMA/SMK/SLB yang tersebar di seluruh Aceh. Setiap sekolah, ‘menyumbang’
dalam angka yang beragam. Mulai dari 500 ribu, hingga 2 juta rupiah. Katakanlah
secara rata-rata 1.5 juta per sekolah, maka 808 sekolah di kali 1,5 juta,
totalnya 1,2 miliar. Dana BOS yang harusnya digunakan untuk menyelesaikan
seribu permasalahan pembelajaran, ‘terpaksa’ ikut andil menyukseskan GEMA. Belum lagi, jika ditambah ‘sumbangan’ dana
dari desa-desa.
Ketiga, Gebrak Masker, dalam
pelaksanaan, boleh dibilang jauh dari substansi tujuan. Ya, substansi. Inti
dari hajat yang digelar. Di lapangan, tercium seperti ada ketakutan pada sosok
Sekda. Itu terlihat dari betapa sakralnya dokumen yang harus terpenuhi. Bukti
fisik dalam bentuk foto, seakan menjadi indikator kesuksesan gebrak masker. Tak
ayal jika setiap ada aktivitas di lapangan, maka wajib foto terlebih dahulu.
Penyerahan satu masker kepada warga, ramai-ramai berfoto bersama sedang
menyerahkan. Penyerahan selembar stiker kepada warga, ramai-ramai berfoto,
malah secara bergantian.
Umumnya yang
terjadi demikian, sekalipun masih ada juga kondisi yang baik, yang mementingkan
substansi kegiatan, daripada selembar foto. Seorang Kepala Sekolah, yang ketika
menyerahkan selembar masker kepada warga, dia berceramah terlebih dahulu. “Bu,
perlu kesadaran kita bersama untuk melawan corona. Selalu pakai masker ya. Kalau
sudah sakit, sudah susah”.
Pasca Gebrak
Ikhtiar terbaik
adalah berkelanjutan. Bukan hanya sekali hantam. Upaya mengubah perilaku,
bukanlah perkara sekali gebrak. Pidato di masjid, harus terus dilanjutkan.
Setiap khatib, wajib menyampaikan pesan pencegahan dalam khutbahnya. Dalam
salat jumat, terus dibacakan qunut nazilah, pun begitu juga di
meunasah-meunasah dalam salat magrib, isya, dan subuh. Begitu juga pengumuman
melalui corong meunasah, tak henti-henti harus dilakukan.
Upaya yang
dilakukan, tidak hanya mengandalkan standar WHO; tapi juga harus menyesuaikan
dengan kearifan lokal. Misal, di kampung-kampung—yang jauh dari kota, anjuran
mencuci tangan rasanya tidak akan laku, tidak akan di dengar masyarakat. Tapi
anjuran untuk selalu memiliki air sembahyang (berwudu) selama 24 jam, akan
lebih dekat dengan masyarakat. Pesan ini, dapat disampaikan oleh imum gampong,
imum chik masjid, dan para Teungku yang dipercaya oleh masyarakat desa.
Harus ada sanksi
yang tegas bagi yang melanggar, jika selama ini razia yang dilakukan untuk
keselamatan di jalan, maka sekarang, razia perlu dilakukan untuk pelanggar
protokol kesehatan. Polri dapat sepenuhnya dilibatkan disini. Operasi Patuh,
Operasi Sadar Rencong, yang kerap selama ini dilakukan, maka sekarang bisa ditambahkan
secara rutin, setiap hari, Operasi Sadar Corona, misalnya. Tanpa sanksi, dengan
hanya mengandalkan kesadaran, mustahil akan berhasil.
Menutup tulisan
ini, hal terpenting yang harus dimiliki Pemerintah Aceh dan dilaporkan kepada
masyarakat sang pemilik anggaran, sebagai indikator keberhasilan GEMA, adalah
data perubahan. Mulai dari perubahan persepsi masyarakat terkait protokol
kesehatan, hingga penurunan jumlah positif covid-19. Jika terbalik, misalnya
jumlah positif semakin meningkat tajam, masyarakat semakin abai terhadap
masker, maka Pemerintah Aceh pun harus mengakui bahwa Gebrak Masker adalah
sebuah program yang belum berhasil—jika tidak mau disebut gagal.
Slogan “ingat
covid, ingat masker,” jangan sampai diplesetkan menjadi, “Ingat covid, ingat
(foto pakai) masker”.
Zubir Agam, Belakangan menyukai kopi
hitam tanpa gula, lahir di desa Ulee Madon, Aceh Utara.
Belum ada Komentar untuk "Ingat Covid, Ingat (foto pakai) Masker"
Posting Komentar