Memerdekakan Sekolah

 

Untuk kedua kalinya, kita merayakan kemerdekaan bangsa ini, dalam suasana yang ‘tidak merdeka.’ Pada bulan proklamasi, Agustus, bangsa besar yang bernama Indonesia mencatatkan namanya sebagai negara dengan angka kematian harian tertinggi di dunia akibat covid-19 (kompas.com).

Pun demikian, pendidikan adalah satu hal yang tidak boleh berhenti dalam kondisi apapun. Kita dituntut untuk terus berinovasi dalam menghadirkan metode yang paling sesuai—karena tidak ada metode yang paling baik. Pandemi menjadi momentum refleksi, sekokoh apa pendidikan kita saat ini.

Dalam hal ini, kita bisa belajar—setidaknya—dari Google. Sejak lahir hingga hari ini, Google mampu menjadi raksasa dunia, tak lain dan tak bukan karena kemampuannya (keinginan) untuk memahami kebutuhan user. Dalam istilah Google, ini disebut dengan Algoritm. Dalam setahun, Google melakukan perubahan Algoritm antara 500 hingga 600 kali (searchengineland.com). Artinya, Google secara berkelanjutan memperbaiki diri sesuai keadaan dan kebutuhan user.

Berbasis Sekolah

Sebelum pandemi datang, ketimpangan pendidikan sudah menjadi isu utama; kualitas pendidikan baik di satu sekolah, tapi sangat buruk di sekolah yang lain. Guru berkualitas di satu sekolah, tapi rendah di sekolah yang lain.

Apa hendak dikata, pendidikan belum selesai diurus—sekalipun tidak akan pernah selesai—pandemi datang, dan memperparah keadaan. Kita tidak bisa keluar dari kondisi darurat ini dengan simsalabim, atau dengan hanya mengandalkan satu sumber kebijakan (pemerintah), tapi setiap sekolah bertanggung jawab untuk sekolahnya sendiri. 

Sejak disahkan UU No. 22 dan 25 tahun 1999, Tentang Otonomi Daerah, maka kewenangan sekolah menjadi lebih demokratis dan partisipatif. Tentu saja, ini menjadi satu modal besar bagi bangsa ini—bagi setiap sekolah—untuk mengurus kebutuhan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekolah adalah yang paling tau akan kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancaman.

Selama ini, sekalipun telah diberikan kewenangan secara legal, pengelolaan pendidikan masih dibawah ketiak birokrasi. Apa yang diputuskan oleh pejabat pendidikan di tingkat kabupaten/kota atau provinsi, atau pusat, maka itu menjadi mutlak untuk dilaksanakan, terlepas kebijakan itu tidak relevan dengan kebutuhan sekolah.

Seorang kepala sekolah pernah curhat dalam sebuah sesi diskusi pendidikan, katanya, ada pejabat (resmi) yang meminta setiap sekolah untuk membeli paket soal, padahal, di masa pandemi ini, kurikulum dilaksanakan secara darurat, daya serap siswa sangat bervariasi; tergantung dari kesiapan infrastuktur sarana prasarana, kesiapan SDM guru, akses internet dan paket data—jika pembelajaran via daring, motivasi intrinsik siswa, dan banyak lagi. Yang mengherankan adalah ketika sang kepala sekolah mengaku bahwa juga melakukan penilaian di sekolah berdasarkan kondisi real sekolah, maka dianggap merasa hebat sendiri, tidak patuh pada aturan negara. Ini hanya satu cerita yang—secara tidak sengaja—terdengar. Ada banyak sekali praktik yang lain, yang ‘membunuh’ kemerdekaan sekolah.

Sekolah adalah tempat berkumpulnya keragaman potensi peserta didik, maka dibutuhkan layananan pendidikan yang beragam; kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif; guru dengan tingkat kompetensi yang berbeda, maka dibutuhkan pertolongan (tindakan) yang berbeda pula.

Negara luas yang berlambang Garuda ini, memiliki paling sedikit 221 ribu sekolah, dengan 2,7 juta guru, dan 45 juta siswa, tersebar di 34 provinsi (jendela.data.kemdikbud.go.id). Melihat sebaran data (sekolah) yang sangat tinggi, tentu bukan perkara mudah untuk menyelesaikan segala permasalahan di sekolah—jika tidak mau disebut tidak mungkin.  

Hal ini hanya dapat terwujud, apabila sekolah diberikan kepercayaan yang besar untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Kepercayaan menjadi kunci bagi sekolah sebagai organisasi untuk terus berkembang memenuhi kebutuhan user (siswa). Dari sinilah awal mula akan bertumbuh kreativitas, inovasi, dan partisipatif—ikut menyelesaikan problem pendidikan nasional dari sekolah masing-masing. 

Upaya atau langkah yang dilakukan sekolah, tidak perlu dianggap sebagai ‘pembangkang’ apabila berbeda dengan pemerintah. Mekanisme penjamiman mutu tetap bisa dilakukan dengan menetapkan standar secara nasional sebagai indikator evaluasi. Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah adalah yang paling sesuai dilakukan di masa pandemi dan dimasa yang akan datang.

Sekolah Merdeka

Saat ini sedang hangat-hangatnya Asesmen Nasional (AN), yang meliputi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Aura akan dilaksanakannya ‘ujian’ masih sangat kentara. Beragam pertemuan, pelatihan, digeber untuk menjaga nama baik daerah, nama baik sekolah. Bahkan, demi hasil AKM yang memuaskan, sudah ada intruksi resmi (wajib) untuk membeli paket buku jitu menghadapi AKM.

Siswa langsung disodorkan model soal yang akan diujikan pada pelaksanaan AKM September mendatang. Mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi, sebagaimana pencapaiannya diharapakan dalam AKM, seyogyanya adalah upaya jangka panjang. Bukan melalui persiapan menjelang AKM, atau panik menyiapkan buku yang mengupas soal AKM.

Tugas penting dan perlu disepakati bersama adalah, bagaimana membangun aktivitas pembelajaran yang mampu menjawab kompetensi yang diharapkan pada AKM: kuncinya disini adalah pada kompetensi guru.  

Belum lagi, jika kita membahas administrasi sekolah yang masih Njlimet. Evaluasi terhadap sekolah masih tumpang tindih. Seperti, pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi 8 SNP, disamping itu juga ada Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKKS)—yang secara garis besar indikator yang dinilai juga tidak jauh berbeda, Sistem Penjamiman Mutu Internal (SPMI), Evaluasi Diri Sekolah (EDS), dan setiap 5 tahun sekali, juga ada Akreditasi Sekolah, kesemua itu dilakukan untuk tujuan yang sama: Kinerja Sekolah.  

Karena terlalu banyak jenis evaluasi yang dilakukan, sehingga dalam pelaksanaan, hanya mengandalkan kelengkapan administrasi saja. Substansi dari tujuan itu sendiri, masih belum tersentuh, belum terkomunikasikan dengan intens.

Untuk administrasi guru, dari yang sudah dijanjikan Mas Menteri Pendidikan, baru RPP yang sudah disederhanakan menjadi 1 halaman—minimal memuat 3 komponen utama: Tujuan Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, dan Asesmen Pembelajaran. Selain RPP, yang lainnya masih bengkak. Guru masih belum leluasa untuk mengembangkan kompetensi melalui ragam kegiatan pengembangan diri, karena masih disibukkan dengan tetek-bengek administrasi guru.    

Jika sekolah belum merdeka, maka mustahil dapat mewujudkan pendidikan yang Memerdekakan, Memanusiakan, dan Berpihak pada Murid. Pandemi covid-19 ini makin mengukuhkan konsep Merdeka Belajar, harunsya.

Zubir, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe

Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Belum ada Komentar untuk "Memerdekakan Sekolah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel