Membenci Jokowi
Akhir-akhir ini, menjelang pemilihan
presiden (pilpres) 2019, rasanya gerakan membenci Jokowi mencapai puncaknya.
Paska menang di pilpres 2014, gerakan itu sudah muncul, dan kini seakan
terorganisir dengan baik. Tulisan ini bukan untuk membela Jokowi, bukan pula
membenci kompetitornya—dan atau sebaliknya—tapi mengajak seluruh lapisan
masyarakat untuk mengedepankan etika dalam berpendapat, yang berujung pada
keutuhan bangsa dan mencegah perpecahan—yang sejatinya saat ini kita sedang
terpecah belah.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), pengertian benci adalah sangat tidak suka. Dari kata dasar
tersebut, muncul beragam turunan. Seperti, membenci, yang artinya merasa sangat
tidak suka atau tidak menyenangi karena sifatnya yang buruk. Jika objek yang
sedang kita bicarakan adalah manusia, maka sifat buruk itu, bukanlah sifat
satu-satunya. Melainkan, ada sifat lain yang dimiliki seseorang, dalam hal ini
sifat lawannya, yaitu baik.
Sampai disini, penulis rasa kita
sudah bisa mengambil satu kesimpulan: adalah sebuah kekeliruan jika rasa benci
ditujukan pada sosok, bukan pada sifat. Sehingga, yang berkembang saat ini
adalah melawan semua hal yang bersumber dari sosok tersebut; semua kebijakan
yang dikeluarkan Jokowi bernilai salah di mata masyarakat, begitu juga semua
instansi yang berada di bawah Jokowi, serta pada siapapun sosok lainnya yang
mendukung Jokowi, juga akan mengalami hal yang sama: dianggap memiliki sifat
yang buruk. Bukankah kita telah diajarkan melalui kisah pemuda Ashabul Kahfi
dan seekor anjing yang masuk surga?
Efek Jokowi
Tak lama setelah K.H. Ma’ruf Amin
dipinang Jokowi, muncul framing
negatif pada sosok ketua MUI tersebut. beliau diopinikan sebagai pendorong
mobil mogok, yang artinya sedang diperalat. Sebelumnya, beliau pernah di
‘tuhankan’ oleh ummat, ketika berkontribusi pada kasus Ahok—yang akhirnya
menjebloskan Ahok ke penjara melalui sikap MUI dan kesaksiaannya di pengadilan. Namun karena menjadi bagian dari Jokowi,
segala bentuk kebaikannya seketika lenyap dihempas angin. Bully terhadap sosok ulama besar—yang berasal dari NU—merebak
hingga ke seantaro nusantara.
Begitu juga dengan Tuan Guru Bajang
(TGB). Sosok muda penuh inspirasi, Gubernur penghafal Alquran, dipuja puji bak
gadis cantik dari kayangan. Sosok umara yang berdarah ulama pada dirinya,
digadang-gadang sebagai tokoh masa depan Indonesia. Apalagi, prestasinya dalam
meningkatkan perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB), dinilai cukup
mengembirakan. Namun itu masa lalu, sebelum beliau menyampaikan kekagumannya
pada Jokowi. Ending dari
pernyataannya, menuai tak hingga caci maki terhadap dirinya. Ketika NTB
digoyang gempa, muncul satu kesimpulan di kalangan masyarakat: karena mendukung
Jokowi. Nau’zubillah.
Efek Jokowi juga terasa di Aceh.
Menimpa seorang santri muda Aceh paska deklarasi dukungan terhadap Jokowi. Tak
lama setelah itu, Haikal Hafifa, sang deklarator menjadi bulan-bulanan. Di
media sosial ia terlihat seperti tahu yang diinjak-injak. Padahal sebelumnya,
ia menjadi rujukan—salah seorang pemikir—ideologi sang deklarator Aceh Merdeka,
Hasan Tiro. Belum lagi jika menyebut nama Surya Paloh. Tokoh Nasional berdarah
Aceh pernah di demo ketika hendak masuk kampus Universitas Syiah Kuala,
beberapa waktu lalu. Tak lain dan tak bukan, karena dukungannya terhadap Jokowi.
Dan yang paling hangat baru-baru ini
adalah kemegahan pada pembukaan Asian Games 2018. Tari Ratoeh Jaroe asal Aceh yang dikemas dengan koreografer dan lighting yang super keren—serta beragam
pertunjukan lainnya—menjadi cacat karena stuntman,
masyarakat dibuat gagal fokus. Euforia yang mendapat acungan jempol dari belahan
dunia, malah berakhir pada isu stuntman
yang tidak penting. Di tengah pembahasan
isu murahan tersebut, kita ditampar oleh dua orang warga Jepang yang mengutip
puntung rokok di bawah pohon, dan membuangnya ke tong sampah.
Internet sebagai ladang
perpecahan?
Kini
internet telah memasuki babak keempat, atau yang disebut dengan Internet of Everything (IoE)—Sebuah konsep dari pengembangan Internet of Thing (IoT),
sebagaimana dipopulerkan oleh Cisco. Di mana banyak benda yang tak terbayangkan
sebelumnya, seperti mobil atau lampu lalu lintas, akan terhubung dengan
internet. Alih-alih mau menyambut IoE, kita sedang tertahan di stasiun yang
bernama hoaks.
Kehadiran
internet menjadikan semuanya serba mudah dan instan. salah satu konsekuensinya
adalah banjir informasi. Layaknya sungai ketika banjir, membedakan mana air
bersih dan mana air kotor adalah sebuah kemustahilan. Atas pada itu, kemunculan
hoaks adalah sesuatu yang lumrah. Hoaks tidak pandang bulu; menembus orang
berpendidikan tinggi, apalagi masyarakat awam; beredar di negara maju, apalagi
negara berkembang.
Menjelang
pilpres, konsumsi hoaks pun meningkat drastis. hoaks dihadirkan oleh pemilik
kepentingan politik, juga dicari oleh masyarakat atas kebutuhan politik. Dalam
istilah ekonomi disebut dengan penawaran dan permintaan (demand and supply). Sehinga, rantainya tidak akan pernah terputus karena
selalu ada penawaran atas dasar permintaan.
Yang
menjadi problematik saat ini adalah kebutuhan seseorang pada suatu informasi
berdasarkan apa yang telah diyakini sebelumnya—yang disebut dalam ilmu
sosiologi pengetahuan sebagai bias konfirmasi. Seseorang hanya akan percaya
pada informasi yang menurutnya benar. Sehingga, di luar dari apa yang
diyakininya, akan bernilai salah (hoaks). Klimaks dari kondisi ini adalah
munculnya golongan—sebagaimana saat ini, yang pada akhirnya adalah perpecahan
bangsa.
Lalu
bagaimana menyikapi permintaan (supply)
tersebut? setidaknya, yang paling mendesak, ada dua hal yang perlu
dilaksanakan. Pertama, bangsa ini dihadapkan
pada ancaman serius melalui serangan buzzer politik yang sedang berada dalam
ambang batas krisis primordial, agama serta suku. Tujuannya, mengarahkan opini
masyarakat terhadap isu tertentu. Maka, Kehadiran Badan Siber dan Sandi Negara
(BSSN) sangatlah tepat.
Sudah
saatnya BSSN bekerja sama dengan semua platform
media sosial yang ada di Indonesia membuat aturan yang ketat dalam penggunaannya.
Setiap orang hanya boleh memiliki satu akun dengan menggunakan No. KTP—atau
nomor resmi lainnya—pada saat pendaftaran. Sedangkan bagi yang sudah memiliki
akun, dapat dibuat kebijakan meng-update
biodata pribadi dengan data asli. Dengan demikian, ketika seseorang melakukan
pelanggaran, dapat dikenakan denda berapa menonaktifkan akun, misalnya. Ini perlu segera dilakukan, mengingat
selangkah lagi kita akan mengikuti perhelatan akbar pilpres 2019. Jangan sampai
Akun buzzer di media sosial
mengacaukan demokrasi Indonesia, tentunya menggiring perpecahan bangsa ini.
Kedua,
untuk jangka panjang, tak cukup dengan membuat aturan, perlu adanya sinergisitas
dengan muatan kurikulum pendidikan. Efek negatif media sosial seperti cyberbullying, cybercrime, hatespeech, dan
hoaks, perlu dimasukkan dalam muatan kurikulum pendidikan nasional. Amerika
serikat sudah merancangnya tidak hanya untuk sekolah, tapi juga diterapkan di
perguruan tinggi.
Mendoakan Jokowi
Menutup tulisan ini, saya teringat
pada sebuah peristiwa ketika pulang kampung pada lebaran idulfitri yang lalu,
tepatnya ke pulau Simeulu, pulau terluar dan terbelakang di Aceh. Ketika hendak
pamitan, keluarga besar kami berkumpul, guna mendoakan anak cucunya supaya
mendapat keberkahan di perantauan. Kakek dari istri saya yang berumur 103 tahun
yang memimpin doa. Yang membuat saya terkejut, diakhir doanya, beliau memohon
kepada Allah untuk diberikan kesehatan, kesabaran, keikhlasan kepada para
pemimpin negeri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kakek merincikan satu persatu, dari
Bupati Simeulu, Wakil Bupati, lengkap dengan namanya dan harapannya. Dilanjutkan
dengan Gubernur Aceh, dan Wakil Gubernur, lengkap dengan namanya dan juga harapannya.
Dan yang membuat saya lebih terkejut, ketika beliau mendoakan Jokowi. Seorang
pemimpin negeri yang jauh nun di sana, belum pernah bertemu sekalipun, belum
pernah berkunjung ke daerah (pulau) nya yang terisolir—yang sebagian besar
jalannya belum teraspal, tapi doanya untuk Bapak Presiden dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla.
Jangan-jangan, selama ini kita sibuk membencinya, tanpa
sekalipun mendoakannya. Walau dalam satu bait doa. Jangan-jangan!
Belum ada Komentar untuk "Membenci Jokowi"
Posting Komentar