Tanda Alam dan Urgensi Pendidikan Perubahan Iklim


BUMI terus memberi tanda-tanda pada penghuninya. Ada yang memilih diam karena ketidaktahuan, ada yang diam karena tak berdaya, ada juga yang berteriak karena merasa tanggung jawab itu ada di pemerintah (bukan pada dirinya). Heatwave atau yang dikenal dengan gelombang panas kembali 'menyerang' sejumlah negara di dunia. India tercatat sebagai negara yang paling parah terkena dampaknya.

India tidak sendirian, gelombang panas ini juga 'menyerang' Cina, Jepang, Korea, Thailand, Myammar, Bangladesh, dan Afganistan. Negara yang dijuluki paru-paru dunia, Indonesia, ikut 'menikmati' cuaca panas ini. Tidak menutup kemungkinan gelombang panas ini akan menjadi kenormalan baru di masa mendatang.
 
Cuaca seperti ini akan terus datang dan semakin parah. Ini misalnya dapat dilihat dari rilis yang dikeluarkan oleh Biro Meteorologi dan CSIRO Pemerintah Australia dalam State of the Climate 2020. Sejak pencatatan nasional dilakukan pada 1910, tren peningkatan cuaca panas di negara kangguru itu terjadi dari tahun ke tahun. Australia telah menghangat rata-rata sebesar 1,44 ± 0,24 °C.
 
Untuk kasus India juga setali tiga uang. Gelombang panas di India terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut studi dari University of Cambridge, proyeksi jangka panjang mengindikasikan bahwa gelombang panas India dapat melampaui batas kemampuan bertahan hidup bagi manusia sehat yang berteduh pada 2050 (detikcom).
 
Indonesia Hari ini
 
Salah satu 'kearifan lokal' dalam hal dampak perubahan iklim di Indonesia adalah cuaca yang tidak bisa diprediksi. Saat sedang digempur cuaca panas, saat itu pula hujan turun dengan intensitas yang tinggi. Salah satu akibatnya, debit air sungai meninggi, dan banjir pun datang menyapa. Pada Sabtu (6/5) beberapa wilayah di Aceh misalnya, seperti Aceh Selatan, Nagan Raya, terjadi banjir dan meluap hingga ke pemukiman dan jalan raya.
 
Di Sumatera Utara juga demikian, hujan mengguyur deras yang mengakibatkan banjir bandang di objek wisata Sungai Sembahe. Pada periode Januari-Maret, sedikitnya terjadi 749 'tanda' alam di Indonesia. Banjir menempati posisi tertinggi, disusul cuaca ekstrem, longsor, hingga kebakaran hutan.
Perubahan terkait cuaca dan iklim ekstrem—seperti panas ekstrem, curah hujan tinggi, dan kekeringan—memiliki dampak besar pada kesehatan dan kesejahteraan komunitas dan ekosistem kita. Itu akan mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian. Lantas, kita akan memilih diam, berteriak, atau melakukan sesuatu?
 
Belajar dari Dua Negara
 
Sebagai seorang guru, saya ingin fokus tulisan ini pada pendidikan perubahan iklim. Ini adalah solusi jangka panjang yang bisa ditanam sejak bangku Taman Kanak-Kanak (TK) hingga ke Perguruan Tinggi. Menurut Anderson (2012), sederhananya, pendidikan perubahan iklim dapat dilakukan dengan dua cara; pertama, mitigasi (mitigation), kedua, adaptasi (adaptation).
 
Mitigasi adalah upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti menghemat penggunaan energi, pengelolaan limbah dan sampah, mengurangi—bahkan menghindari—penggunaan plastik, mengubah pola konsumsi, serta menggunakan dan merancang teknologi yang ramah lingkungan. Tapi, itu semua adalah omong kosong belaka jika tidak dibarengi dengan pengetahuan (pendidikan).
 
Pendidikan dapat mendidik kepada orang-orang bahwa sebagai konsumen yang sadar dan warga negara yang bertanggung jawab, mereka memiliki peran penting dalam mendefinisikan kembali gaya hidup mereka untuk mengatasi masalah keberlanjutan saat ini yang dihadapi makhluk bumi.
 
Pendidikan adalah komponen penting dari kapasitas adaptif. Cara orang dididik dan muatan pendidikan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan tentang bagaimana menyesuaikan kehidupan individu dan mata pencaharian serta sistem ekologi, sosial, atau ekonomi dalam lingkungan yang berubah.
 
Biar lebih konkret, mari kita belajar dari dua negara; Australia dan Finlandia. Di Australia, sebagaimana ditulis oleh Colliver (2017), muatan pendidikan perubahan iklim sudah termaktub secara jelas dalam kurikulum. Jika kita ingin mencari dengan kata kunci "climate change" pada laman https://www.australiancurriculum.edu.au, maka akan kita peroleh banyak sekali materi perubahan iklim di setiap tingkatan tahun belajar. Muatan paling banyak ada di tingkatan Secondary School (setingkat dengan SMP).
 
Sekarang kita pindah dari Benua Australia ke Benua Eropa, Finlandia. Sari (2023) berbagi best practice bagaimana Finlandia sudah memperkenalkan pendidikan lingkungan melalui pendekatan sains sejak SD. Ada tiga pertanyaan mendasar sebagai prinsip dalam pembelajaran; (1) apa yang sudah ada?; (2) kenapa itu terjadi?; dan (3) bagaimana kita tahu?
 
Secara natural, anak SD adalah para saintis. Mereka sudah sangat kritis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Saat menjelajah lingkungan, mereka akan menemukan dan membangun teori sendiri berdasarkan pengalaman dan bukti di lapangan . Hal menarik lainnya dari Finland adalah bagaimana guru SD juga dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah dilatih sejak pre-service teacher training (pra jabatan) dan juga in-service teacher training (dalam jabatan).
 
Dari dua pengalaman di atas, tidak salah jika kita berefleksi sejenak, jangan-jangan, anak-anak kita tidak kita bekali apapun tentang alam ini, tentang bagaimana berdampingan dengan alam.
 
Adaptasi Kurikulum
 
Masih ada pilihan untuk memperbaiki itu semua. Belum terlambat. Dan, pilihan terbaik itu dimulai dari ruang-ruang kelas. Maka, beradaptasi terhadap muatan kurikulum adalah mutlak untuk dilakukan. Pertama, perlu adanya muatan kurikulum yang didesain sejak dari bangku sekolah dasar dan saling terkait. Ini tidak hanya menjadi pekerjaan satu orang guru sains (IPA), tapi semua guru berperan serta dalam materi di mata pelajarannya. Pun dapat berkolaborasi dalam lintas pelajaran.
 
Kedua, me-review tujuan dari pendidikan nasional. Pendidikan kita cenderung dalam implementasi di ruang kelas diajarkan untuk di uji. Indikator keberhasilan adalah ketika materi yang diberikan mampu dijawab pada sesi ujian akhir. Lalu, apakah bangsa ini butuh hasil ujian dalam merespons sejuta masalah di atas bumi pertiwi ini?
 
Ropo (2019) menuliskan tentang bagaimana pendidikan itu harus mampu membentuk lulusan yang memiliki identitas. Pengetahuan itu penting, tetapi mungkin tidak cukup lagi. Konstruksi identitas jauh lebih penting daripada pengetahuan. Seperti apa definisi yang dimaksudkan Ropo terkait identitas ini?
Mungkin banyak dari kita yang masih ingat tentang suporter sepak bola tim nasional Jepang. 

Mereka mengutip sampah saat selesai mendukung tim nasional Jepang pada Piala Dunia 2022 di Qatar. Apa yang mereka lakukan itu adalah bentuk 'deklarasi' dari rakyat Jepang tentang identitas mereka. Di mana pun mereka berada, menjaga lingkungan bersih adalah tanggungjawab mereka. Lalu, masyarakat dunia tatkala membicarakan Jepang, identitas itu akan menjadi core value-nya Jepang.
 
Pendidikan bertujuan untuk pengembangan identitas dalam memahami diri sendiri, orang lain, dan dunia (alam sekitar). Untuk itu, dalam kurikulum perlu mempromosikan kompleksitas di ruang-ruang kelas tentang makna dari pengetahuan yang diajarkan dan dibutuhkan. Pendidikan dapat mengubah perilaku manusia untuk menyadari pentingnya menjaga lingkungan. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan kurikulum perubahan iklim secara tepat
 
Ketiga, sebagai ujung tombak dan paling penting, memastikan kapasitas guru literate terhadap pendidikan perubahan iklim. Tidak bisa simsalabim, butuh pendampingan berkesinambungan dengan konsep yang jelas dan terukur.
 
Zubir Direktur Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe; peserta 'short course' pada program Curriculum Development for Climate Change Education in Global South (Spring 2023), Finlandia

[Artikel ini sudah di muat di kolom detik.com, pada 26 Mei 2023] 
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Tanda Alam dan Urgensi Pendidikan Perubahan Iklim"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel