Aceh Baru, 'Cet Langet'?

“MEUNYOE jeut ta peulaku, boh labu jeut keu asoe kaya. Tapi menyoe han jeut ta peulaku, aneuk teungku jet keu beulaga.” 
MERUJUK pada janji yang pernah disampaikan pada masa kampanye, di tangan Zaini-Muzakir (selanjutnya disingkat ‘Zikir’), Aceh akan disulap seperti Brunei Darussalam. Sekedar untuk diketahui, Brunei Darussalam adalah salah satu negara terkaya di dunia. 92 persen dari total pendapatan nasional disumbang dari penjualan minyak. Selain itu, Brunei Darussalam juga memberikan pendidikan gratis bagi  rakyatnya, mulai dari TK hingga ke perguruan tinggi (sumber: id.wikipedia.org). Tentu, ini adalah sebuah angin yang semoga saja bukan “angin surga”, betapa kemiskinan bukan lagi alasan untuk tidak mengecap pendidikan.
Tidak hanya seperti Brunei Darussalam, Zikir juga akan menjadikan Aceh seperti Singapura. Lantas, seperti apa “kota singa” itu, sehingga Zikir menjadikan rujukan negara idaman? Kita mengenal Singapura adalah sebuah “negara-kota” yang teratur, bersih, disiplin, tertata rapi, negara para pengusaha dan penuh pusat-pusat hiburan belanja, sehingga Singapura menjadi salah satu pilihan masyarakat dunia untuk menghambur-hamburkan uangnya. Negara yang dulunya bernama Temasek itu juga memiliki pelabuhan tersibuk di dunia. Tentu Aceh juga memiliki Sabang, Krueng Geukuh, Idi, yang mungkin saja akan dijadikan seperti Singapura?
Selanjutnya, untuk urusan kesehatan, masyarakat Aceh juga akan masih mendapatkan fasilitas JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), bahkan akan lebih “mewah” lagi. Dan semua rumah sakit di Kabupaten/Kota akan berkelas seperti rumah sakit Zainoel Abidin di Banda Aceh. Sedang untuk urusan haji, bagi yang cukup umur, langsung bisa naik haji.
Ilustrasi di atas, hanya untuk mengingatkan kembali Zikir, bahwa Aceh ke depan, akan “disulap” menjadi Aceh baru yang bermartabat, masyarakat damai dan sejahtera. Sedang rujukan Singapura, Brunei Darussalam, kita sebagai masyarakat paham, adalah contoh nyata untuk memberikan gambaran kepada masyarakat Aceh, kira-kira, seperti itulah Aceh ke depan.
Masih banyak lagi program prorakyat yang akan dikibarkan, seperti untuk setiap KK (Kartu Keluarga) di Aceh akan mendapatkan Rp 1 Juta/bulan yang bersumber dari dana migas. Membuka lapangan kerja baru, mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri, meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat, menginventarisir kekayaan dan sumber daya alam Aceh, hingga menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Islam di semua sektor kehidupan masyarakat.
Sebagai rakyat, tentu kita mengadah dan berharap akan cita-cita mulia pemimpin baru kita dapat disentuh masyarakat, alias bukan sekedar wacana, atau “pemanis buatan” untuk memuluskan jalannya menuju kursi No. 1 di Aceh. Tapi jika tidak, ini adalah “pembunuhan” kepercayaan yang dilakukan oleh awak geutanyoe. Ke depan, masyarakat akan apatis pada siapa saja yang memimpin.
 Sumber daya alam
Salah satunya adalah hutan. Keberadaan hutan telah menyumbang pendapatan Aceh yang sangat besar. Membuka lembar sejarah, asal mula wilayah kerajaan Aceh adalah hutan. Pada masa itu (sekitar abad 14 Masehi) wilayah Aceh telah ditanami lada yang sangat lebat. Di hutan-hutan Aceh juga banyak dijumpai ulat-ulat penghasil sutera. Hasil hutan lainnya seperti tanah cempaga, kapur, kemenyan, dan emas juga telah menyumbang kekayaan hutan Aceh. Lantas, bagaimana kekayaan hutan Aceh hari ini?
Selain itu, Aceh juga kaya dengan Laut. Memiliki garis pantai sepanjang 1.660 Km dengan luas perairan laut 295.370 km persegi.  Namum akibat minimnya SDM dan teknologi, potensi dan kekayaan laut (ikan) baru tergarap sekitar 37 persen atau 272 ribu ton/tahun (sumber: economy.okezone.com).
Ikan tidak hanya bisa dijual segar-segar, melainkan dapat diolah menjadi kerupuk. Sebagaimana yang sedang dilakukan oleh provinsi Sumatra selatan, yang seharusnya perlu kita jadikan rujukan. Kerupuk ikan Sumatra Selatan telah melang-lang buana di berbagai negara (sumber: bangkabaratkab.go.id). Faktanya, jangankan mengolah ikan menjadi kerupuk, kebutuhan ikan segar saja harus di datangkan dari Medan. Selain itu, Aceh juga memiliki “ladang” lobster di Simeulu. Seharusnya ini menjadi sentral budidaya lobster di Aceh untuk di ekspor ke mancanegara.
Dan apa yang sudah dilakukan Aceh sampai hari ini? Mari kita membuka mata lebar-lebar melihat Aceh lebih dekat. Menjadi Nelayan adalah sebuah pilihan terpahit. Karena nelayan akan selamanya menjadi “nelayan,” yang bermakna selamanya miskin. Kehidupan nelayan di Aceh, siuroe mita, siuroe pajoh, begitu juga halnya berlaku bagi petani, perternak, dan masyarakat kelas bawah pada umumnya.
Yang di atas hanyalah segelintir potensi kekayaan Aceh. Belum lagi sub kekayaan hutan, seperti kopi, kakao, pala, nilam, serta padi yang menjadi komoditi andalan. Keberadaan sawah di Aceh, dapat dikatakan, hampir tidak ada desa yang  tidak memiliki sawah. Ironinya, beras juga masih langka dan harus di datangkan dari luar, bahkan harus di impor dari Vietnam sekalipun. (sumber: waspada.co.id)

Belajar dari pengalaman

Sepantasnya kita ucapkan ribuan terima kasih kepada Irwandi dan Nazar yang telah memimpin kita selama lima tahun ke belakang. Telah mencurahkan seluruh ide, pikiran, raga, untuk kemaslahatan kita bersama. Ada banyak terobosan yang telah mereka lakukan, tentu juga tidak luput dari kekurangan. Itu semua lumrah dilakukan oleh seorang manusia. Setiap gebrakan, pasti ada sisi positif dan negatifnya. Lantas, bukan berarti kekurangan itu jadi alat untuk menghukum, melainkan jadi “permata”, karena pengalaman adalah guru paling berharga.
Masyarakat Aceh, juga jangan berlama-lama membanggakan keagungan masa lalu. Itu boleh, tapi jangan sampai terlena. Alangkah baiknya bisa menunjukkan kehebatan masa sekarang. Misalnya, “Lihatlah Aceh sekarang!” Bukan, “Lihatlah Aceh masa lalu.” (Arafat Nur).
Dengan demikian, di tengah ketersedian sumber daya alam yang melimpah, kebudayaan yang sangat unik, dukungan yang penuh dari seluruh lapisan masyarakat, mimpi Aceh ke depan tidak dianggap cet langet. Tetapi akan berubah menjadi terobosan spektakuler, bahkan sepanjang sejarah peradaban dunia. Selamat berjuang Zikir!
[Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Selasa, 3 Juli 2012]
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Belum ada Komentar untuk "Aceh Baru, 'Cet Langet'?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel