Demo Tolak Pergub Cambuk dan Kedatangan Siswa Asal Filipina ke Sekolah Kami
(sebuah
refleksi untuk Irwandi)
Untuk siapapun yang membaca tulisan
ini, perlu saya sampaikan bahwa penulis tidak memiliki kepentingan apapun. Ini murni
pemikiran sendiri, yang berarti bisa saja sesuai dengan pikiran Anda, atau
tidak. Jika Anda terlalu fanatik pada satu kaum, maka sebaiknya tidak perlu
membaca tulisan ini. Ya. Tutup saja halaman ini.
***
Pada lembaran ke sembilan belas di
bulan April tahun 2018, sang kapten digoyang rakyatnya. Pergub No.5 tahun 2018
yang baru dirilis, ditentang dengan dalih melanggar qanun dan menodai syariat
islam. Sang kapten pun tiba-tiba menghilang dari jagad serambi dan dikabarkan
sedang di Amerika Serikat.
Baik, kita mulai satu persatu.
Ribuan masyarakat Aceh bersatu di Banda Aceh untuk melakukan aksi demonstrasi, yang kali ini di beri nama “aksi
sembilan belas empat.” Tentu, semangat “tanggal dan bulan” diadopsi dari
kesuksesan aksi sebelumnya di ibukota. Saya melihat, bahwa kita seakan ingin
semuanya serba mudah; ketika ada yang bertentangan, maka demonstarsi pilihannya,
tak ada yang lain. Toh, Ahok saja bisa dijerujikan. Massa dengan mudah
dikerahkan, karena massa tunduk dan patuh pada organisasi. Atau bahasa yang
lain disebut loyal. Meninggalkan anak istri dirumah, demi menegakkan syariat
islam di bumi Iskandar Muda, sungguh sangat mulia.
Pertanyaannya, separah itukah
penyelewengan syariat islam dengan hadirnya pergub itu? Sejak 2001 syariat
islam dihadiahkan untuk Aceh, kita belum bergerak diantara persoalan yang
itu-itu saja; judi, minuman keras, dan zina. Jangan lakukan tiga hal itu, jika
tidak mau di cambuk. Dan jangan lakukan tiga hal itu, maka syariat islam
sudah kaffah.
Mari sekali-sekali kita piknik ke
seluruh pelosok Aceh, bagaimana megahnya masjid atau meunasah di setiap kampung,
tapi jamaahnya kosong. dalam pengamatan pribadi, banyak yang berkoar di
facebook dengan sangat lantang, tapi sehari-hari lupa jalan menuju masjid (baca:shalat).
Saya ulang, dalam pengamatan pribadi, banyak yang berkoar di facebook dengan
sangat lantang, tapi sehari-hari lupa jalan menuju masjid (baca:shalat). Ah,
itu urusan Tuhan, bukan urusan saya.
Ok. Sekarang kita bergerak pada
poin selanjutnya.
Sekedar kilas balik, bukan
mengungkit masa lalu, bahwa pada masa pemerintahan sebelumnya, Aceh terasa
lebih meujahiliyah. Saya tidak akan mengurai panjang lebar, karena aib pada
masa lalu, tidak baik jika terus didengungkan.
Begini kisahnya: pada satu waktu
yang tidak terlalu lama, di setiap kantor pemerintahan dikawal oleh para “pendaheh”
proyek. Bantuan yang datang dari provinsi (atau dari sumber lainnya), jangan
harap untuk lepas dari tangan mereka. Konsekuensinya, mereka mengambi l
keuntungan dengan memark-up harga. Untuk membeli satu botol cairan praktikum—sebut
saja begitu—maka harga dari mereka bisa tiga kali lipat. Ini adalah bentuk
jahiliyah terstruktur.
Lalu, apa hubungannya masa lalu ini
dengan pergub yang sedang saya bahas? Begini, saya melihat diantara pendemo, ada
para legislatif yang menjadi pemimpin (wakil rakyat) aktif pada pemerintahan
sebelumnya. Maka pertanyaanya, dulu ketika rakyat dikuras, dimana mereka? Bukankan
tindakan menguras rakyat juga bagian dari melanggar syariat islam? AH,
jangan-jangan sedang jualan kecap.
Konklusi sementara, pemindahan
lokasi cambuk tidak lebih parah dari menguras rakyat, toh, tetap di cambuk, kok.
Irwandi si Sombong dan Kurangkam
Saya rasa, ini adalah teguran nyata
untuk Irwandi yang sombong itu. Di media sosial, Irwandi dengan lantang menghina,
merendahkan, dan beragam bentuk bully verbal lainnya terhadap rakyatnya
sendiri. Protes yang dilayangkan rakyatnya, secepat kilat dibalas lebih pedas olehnya.
Irwandi tidak paham, bahwa mendidik
itu butuh proses. Melayani masyarakt di media sosial yang tidak setingkat
pendidikan dengannya, adalah sebuah kebodohan. Bukankah anjing menggongong,
kafilah berlalu?
Saya menaruh hormat pada program,
inovasi, yang digagas oleh Irwandi. Tapi adu kata kotor antara pemimpin dengan
rakyatnya, sejatinya yang kalah adalah pemimpin. Karena sanggup dipancing emosi
dan diturunkan harkat martabatnya. Teringat kata steve job, “If you want to
make every one happy, don’t be a Leader. Sell ice cream”
Kondisi hari ini, semoga menjadi
refleksi bagi seorang Irwandi, yang saat ini sedang menjabat sebagai Gubernur. sepertinya
ia masih merasa sebagai kombatan yang sedang berperang dengan Jakarta. Terus majukan
Aceh, Irwandi, hilangkan sifat sombong dan kurangkam itu.
Menutup tulisan ini, saya teringat
pada kunjungan siswa asal Filipina--yang saat ini bersekolah di Sukma Pidie-- ke Sekolah kami beberapa waktu yang lalu. Dalam
sesi tanya jawab, salah seorang siswa SMAS Sukma bertanya, “you can speak Bahasa or Aceh languange? If yes, say some word” sontak pertanyaan itu sangat
ditunggu jawabannya, terutama jika mereka (siswa filipina) bisa berbahasa Aceh.
Seluruh siswa dan guru terdiam. Menunggu
jawaban para anak pejuang Filipina itu.
“Pungo!” jawab salah satu diantara
mereka dengan penuh bangga. Dan suasana menjelang siang itu, pecah
sepecah-pecah-pecahnya.
Begitulah, kita sebagai orang Aceh
kadang lebih suka berkata kotor dan mengajari orang lain akan kata kotor itu.
Diatas meja makan, Panggoi, Kota
Lhokseumawe, 19 April 2018.
Belum ada Komentar untuk "Demo Tolak Pergub Cambuk dan Kedatangan Siswa Asal Filipina ke Sekolah Kami"
Posting Komentar