Hari Guru Nasional: Data dan Pendidikan Kita
Hari ini,
kita kembali bertemu
dengan Hari Guru Nasional (HGN), yaitu tanggal 25 November. Kata yang biasa
digunakan untuk hari yang ditujukan pada guru itu adalah memperingati. Jika
kita membuka kamus, terdapat beberapa makna yang mendekati; mengadakan
kegiatan, mengenang, dan memuliakan. Dalam definisi yang lain, adalah
sebuah tindakan untuk mengapresiasi, mendukung, dan mendorong kualitas
guru.
Sejak ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada
tanggal 24 November 1994, melalui Kepres Nomor 78 tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional, mari
sejenak kita merefleksi sudah
sejauh mana bentuk peringatan pada hari guru. Apakah masih sebatas mengadakan
kegiatan alias seremonial atau sudah pada titik mengapresiasi hingga mendorong
kualitas guru. Ini tidak bisa dijawab
oleh sebuah narasi dalam sambutan pidato menteri pendidikan, atau penyerahan
hadiah kepada segelintir orang tatkala HGN di gelar.
Negara luas yang bernama Indonesia ini memiliki paling
sedikit 221 ribu sekolah, dengan 2,7 juta guru, dan 45 juta siswa, tersebar di
34 provinsi (kemdikbud.go.id). Data ini menjelaskan bahwa tugas pemerintah itu
sangat berat, dan tidak (akan) mampu memikul sendiri. Sejalan dengan itu, seperti
tersirat dalam tema HGN
yang diusung tahun ini, “Bangkitkan Semangat, Wujudkan
Merdeka Belajar”, Pemerintah seakan ingin menyampaikan bahwa
dengan Merdeka Belajar, tugas berat itu kita emban bersama.
Kita masih
ingat tahun lalu, di HGN, Nadiem ‘berpuisi’ dalam sambutannya. Ada 2 poin yang
menjadi esensi pidato kala itu. Pertama, Merdeka Belajar, kedua, Guru
Penggerak. Indikator keberhasilan pada kata ‘Merdeka Belajar’ adalah terbukanya
kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif.
Sedangkan indikator keberhasilan pada poin ‘Guru Penggerak’ adalah lahirnya
para inisiator dan para penggerak di setiap satuan pendidikan. Dalam istilah
yang lain, ini disebut dengan konsep pembangunan dari bawah (buttom-up)
Lalu
pertanyaannya, sudah sejauh mana capaian inovasi pendidikan yang didesain oleh
sang inovator yang masuk dalam daftar The Bloomberg 50, tahun 2018
tersebut?
Data dan Pendidikan
Kita
Rasanya, kita masih melihat data hanyalah sebatas
angka-angka. Di ruang kelas, data adalah materi pelajaran matematika. Di
pemerintahan, data adalah laporan pertanggungjawaban. Di masyarakat, data
adalah berita. Sehingga, data tidak pernah bertindak sebagai sumber solusi.
Ada banyak kisah sukses karena data.
Di era bisnis digital saat ini, ilmu baru yang sangat dibutuhkan—yang oleh para
ahli disebutkan—sebagai Data Science.
Ilmu dengan ruang lingkup yang lebih holistik, campuran antara statistik,
komputer, matematika, dan perilaku manusia. Data bukanlah angka-angka, tapi
dapat dimanfaatkan untuk menajamkan pengambilan keputusan, menambah wawasan,
meningkatkan pelayanan, sampai kepada menunjang atau mengoptimalisasi proses.
Sebagaimana
konsep bottom-up yang telah penulis
singgung diatas, harusnya data adalah kondisi real di satuan pendidikan, yang meliputi keadaan guru, keadaan
siswa, kondisi sekolah, hingga lingkungan (mitra).
Mari kita
kupas satu persatu. Pertama, keadaan
guru. Dari 4 kompetensi yang harus dimiliki seorang guru; Pedagogi,
Profesional, Kepribadian, dan Sosial, kompetensi mana saja yang sudah baik, dan
kompetensi apa yang harus ditingkatkan. Adakah kita memiliki data tersebut? Dan
apakah program peningkatan kapasitas guru dilaksanakan atas dasar data yang
ada? Jawabannya tentu saja belum—jika tidak mau disebut, tidak.
Program
peningkatan kapasitas guru, lazimnya di negara ini dilaksanakan menjelang akhir
tahun, dan bersifat pelatihan sapu jagat. Satu ‘obat’ untuk semua ‘penyakit’
guru. Materi pelatihan yang dikemas, bukan berdasarkan kebutuhan guru, tetapi
berdasarkan kebutuhan pemerintah. Itu tidak lain, karena tidak adanya data
tentang keadaan guru.
Hal baik,
secara sistem sebenarnya sudah terbangun. Keberadaan Sistem Informasi Manajemen
Pengembangan Keprofesian yang Berkelanjutan (SIM PKB), sudah mengakomodir
keadaan guru. Disana terdapat menu “pelatihanku” dan “rapor pelatihanku”. Namun
sayangnya, SIM PKB belum secara benar digunakan dan berfungsi sebagai basis
pengambilan keputusan (baca: program pengembangan kapasitas guru). Ini belum
lagi jika kita bercerita tentang jabatan tambahan guru; seperti menjadi wakil
kurikulum, kesiswaan, wali kelas, dan jabatan lainnya.
Dalam catatan
sejarah, jika penulis tidak keliru, sama sekali belum terdengar konsep besar,
misalnya, pengembangan kapasitas seorang wali kelas. Padahal, tugas wali kelas
itu sangat besar, layaknya seorang arsitek di lapangan hijau. Begitu juga
halnya peningkatan kapasitas untuk guru bimpen, tenaga laboran, tenaga
perpustakaan, staf tata usaha, dan lainnya.
Kedua, keadaan siswa. Program
for International Student Assessment (PISA), tahun 2018, masih
menempatkan Indonesia di posisi terpuruk dalam tiga bidang; skor membaca
Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di
peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.
Kondisi ini masih belum membaik jika melihat hasil PISA tahun 2015. Pengukuran
PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja
siswa di pendidikan menengah. Hasil PISA menjadi tolak ukur akan kualitas
pendidikan Indonesia—jika dibandingkan dengan seluruh dunia.
Diantara
banyak upaya yang dilakukan pemerintah, perubahan sistem penilaian nasional,
diyakini menjadi salah satu usaha terbaik untuk memperbaiki standar kelulusan.
Terlepas terjadi pro dan kontra. Perubahan sistem penilain nasional, tentunya
akan berdampak pada perubahan aktivitas pembelajaran, dan penilaian di sekolah.
Bentuk soal yang selama ini diujikan di sekolah, akan bergeser (berubah)
mengikuti target capaian literasi membaca dan numerasi.
Lalu benarkan
keterpurukan pendidikan Indonesia karena kesalah sistem penilaian nasional? Ini
terlalu prematur untuk disimpulkan. Seorang guru di SMA mengeluh akan rendahnya
intake siswa. Katanya, ini karena
kesalahan pendidikan di SMP. Seorang guru di SMP mengeluh akan rendahnya intake siswa. Katanya, ini karena
kesalahan pendidikan di SD. Begitulah kesalahan berantai yang terjadi.
Jika mau
ditelusuri lebih dalam, dalam pengalaman penulis, benang berah ada di
ketidaktercapaian tujuan pembelajaran di setiap pertemuan. Ketidaktercapaian
dari satu pertemuan ke pertemuan yang lain, akhirnya bertumpuk dan tidak mampu
lagi dicapai. Dalam kondisi ini, siswa merasa apatis untuk mampu mengejar.
Begitu halnya guru, merasa frustasi untuk mampu memperbaiki keadaan, yang
terjadi adalah upaya penyelematan siswa melalui tindakan ‘kasih sayang’. Dari sinilah
kenapa kualitas pendidikan kita rendah, yang versi rapor PISA berada di
kategori terpuruk.
Ketiga, Kondisi Sekolah. Apa yang ada di Rapor Mutu,
hasil Evalusi Diri Sekolah, atau Sistem Penjaminan Mutu Internal, masih jauh
dari menggambarkan kondisi real sekolah.
Ini tidak lain karena mengejar nilai yang baik, atau akreditasi yang sangat
memuaskan, dan mengabaikan keadaan sebenarnya. Dampak negatif, sekolah yang
harusnya diprioritaskan untuk dibenah, justru tidak masuk dalam daftar. ini
juga berdampak buruk terhadap standar kelulusan, karena Standar Nasional
Pendidikan (SNP) belum terpenuhi, tetapi diatas kertas sudah tercapai.
Keempat, Lingkungan atau mitra sekolah. Keberadaan mitra
yang ada di sekitar sekolah perlu berkontribusi secara berkelanjutan untuk pengembangan
sekolah. keberadaan universitas misalnya, belum berkontribusi maksimal melalui
program tridarma perguruan tinggi. Sebagai contoh, dalam menyiapkan guru mampu
menulis jurnal, harusnya ada kerjasama yang secara intens dan berkelanjutan.
Program ini harus digagas bersama, melalui dinas pendidikan, kepala sekolah,
dan pihak universitas. Begitu juga lembaga pemerintahan atau perusahaan yang
ada di sekitar sekolah atau di daerah. Semuanya harus terlibat sebagai mitra
untuk program jangka panjang.
Sebagai
penutup dalam tulisan singkat ini, kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk
belajar dengan mandiri dan kreatif, tidak akan tercapai apabila program
peningkatan mutu pendidikan tidak didasarkan pada basis data yang terintegrasi
dengan baik. Kita sudah memilikinya, kita sudah memulai, tinggal memastikan
bahwa semua kebijakan benar-benar berasal dari data. Peringatan HGN harus
menjadi momentum terbaik dalam mengapresiasi, mendukung, dan memuliakan guru
melalui pelatihan pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Zubir, Pegiat di Forum Aceh Menulis Chapter
Lhokseumawe, Pembelajar di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, dan Penulis buku
“Rawi: Kumpulan Tulisan Populer”
sumber: https://www.acehtrend.com/news/hari-guru-nasional-data-dan-pendidikan-kita/index.html
Belum ada Komentar untuk " Hari Guru Nasional: Data dan Pendidikan Kita"
Posting Komentar