Syariat Islam, Peukateun Aceh, dan Rahasia Kebahagiaan orang Finlandia
Saya ketika berada di pasar ikan
SEORANG guru berbagi pengalaman pada saya ketika pergi ke salah satu kantor pemerintahan. Guru ini sudah tiba di kantor tersebut pada pukul 08.00 WIB. Sesampai di sana, ternyata belum terlihat adanya tanda-tanda kehidupan.
Sang guru menunggu hingga pukul 09.30 WIB. Masih belum ada kejelasan. Lalu, dia memberanikan diri bertanya pada pegawai yang sudah datang. Katanya, pegawai yang mengurusi hal itu belum datang. Si guru juga bercerita tentang orang-orang yang berkeliaran di kantor itu untuk menawarkan jasa atau yang kita kenal dengan istilah calo. Calo ini bebas masuk kantor dan berinteraksi dengan pegawai. Di negeri syariat Islam, untuk mendapatkan pelayanan dari abdi negara, masih butuh orang ketiga.
Di hari yang sama, kami pergi ke Rumah Sakit Umum untuk menjenguk keluarga sahabat yang sakit. Cerita lama yang tak kunjung tuntas adalah kisah para pasien yang tidak punya kamar rawat inap. Ada yang sudah berhari-hari, tapi masih belum begerak dari ruang IGD. Kami dapat kabar, sampai ada yang mengemis untuk dipindahkan ke kamar rawat, namun apa daya, katanya tak ada kamar kosong.
Lain cerita lagi, viral beberapa waktu lalu di Aceh Utara, jajanan Rp 500-an diberikan kepada warga dalam rangka mencegah stunting alias kurangnya asupan nutrisi. Aceh merupakan provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi kelima di Indonesia pada 2022, dengan angka 31.2 persen.
Di Ibu kota provinsi, beberapa waktu lalu, dihebohkan oleh kebijakan menutup warung kopi setelah pukul 12 malam. Sah-sah saja jika pemerintah (mau) mengatur akan hal itu. Tapi ada yang tidak kalah penting dalam merespon menjamurnya warung kopi di Aceh dalam konteks syariat Islam. Itu adalah, pemerintah dan dewan yang terhormat, hadir untuk memastikan upah yang layak bagi para pekerja di warung kopi. Selain mewajibkan syarat operasional warung kopi memiliki tempat salat yang bersih dan suci.
Dalam pemandangan yang lain, para pelanggar syariat Islam dari golongon ‘sandal jepit’ terus di cambuk demi menjaga marwah Aceh. Islam seakan hanyalah perkara judi, mabuk, dan zina. Permasalahan mendasar di masyarakat seperti pelayanan istimewa dari abdi negara, kebutuhan pengobatan, asupan nutrisi yang cukup, ketersediaan lapangan kerja dengan upah yang layak, fasilitas umum, pendidikan yang berkualitas, pengawasan harga bahan pokok, tidak lah dipandang sebagai bagian dari syariat Islam.
Di tengah kondisi Aceh yang tanpa arah tujuan, para dewan terhormat, menyuguhkan tontonan menarik untuk rakyatnya. Main usir-usiran di gedung parlemen. Ini masih mending, dari pada main adu jotos di ring parlemen sebagaimana lakon sebelumnya.
Seperti kurang kerjaan di tengah status provinsi termiskin, stunting mengkhawatirkan, darurat narkoba, mutu pendidikan rendah (tidak merata), dan menjelang berakhirnya dana otsus, kita masih belum melihat ada rencana strategis untuk keluar dari seabrek permasalahan Aceh.
Pemimpin Aceh, legislatif dan eksekutif, masih terus mempertontontan kepongahan mereka.
Perselisihan antara legislatif dan eksekutif, bukanlah cerita baru. Ini seakan menjelaskan, bahwa orang-orang yang mewakili rakyat, yang sedang memimpin rakyat, tak tau apa yang harus mereka kerjakan. Jangan-jangan, mereka adalah orang yang disebut dengan lack of knowledge (tidak punya ilmu pengetahuan) atau ignorance (ketidaktahuan mengurus pemerintahan).
Rahasia dari Finlandia
Apa rahasia orang Finlandia menjadi orang paling bahagia di dunia? dan di mana korelasi dengan konteks yang sudah kita bahas di atas? Rahasianya adalah: saling percaya. Rakyat percaya pada pemimpin mereka, begitu juga sebaliknya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana kepercayaan itu bisa tumbuh dan bagaimana itu dirawat?
Finlandia adalah salah satu negara dengan tarif pajak tertinggi di dunia. Tarif standar PPN yang diterapkan pada sebagian besar barang dan jasa adalah 24 persen. Sedangkan pada sektor lainnya, angkanya bahkan mencapai 56,95 persen.
Namun, pajak yang besar untuk negara, kembali dinikmati oleh warga negaranya. Dalam ruang yang singkat ini, saya akan memberikan contoh bagaimana negara menumbuhkan kepercayaan rakyatnya, terutama di sektor pendidikan.
Fasilitas pendidikan dan penunjang tidak lagi menjadi isu di negara itu. Siswa sejak TK sudah menggunakan fasilitas transportasi publik untuk pergi ke sekolah dan tanpa perlu di antar oleh orang tua. Pemerintah mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapa saja di jalanan.
Di sekolah, semua faslitas terpenuhi untuk setiap siswa. Baik itu buku pelajaran, buku tulis, pensil, pulpen, penggaris, crayon, kertas, gunting, dan semua alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran sudah disiapkan oleh pemerintah.
Setiap hari, siswa diberikan makan siang gratis dengan menu yang memenuhi nilai gizi untuk kebutuhan masa pertumbuhan. Di tingkat SMP dan SMA, siswa difasilitasi satu unit laptop, bebas digunakan hingga tamat sekolah. Setiap siswa juga diberikan beasiswa senilai 150 Euro per bulan (sekitar 2.5 juta). Beasiswa ini diberikan untuk kegiatan pengembangan diri siswa. Misal, ada siswa yang ingin mengasah lebih dalam kemampuan di bidang bermain piano, maka siswa bisa menggunakan uang ini untuk mendaftar kelas piano, dsb.
Di universitas juga demikian, biaya kuliah gratis dengan fasilitas lengkap. Semua fasilitas penunjang perkuliahan dimanjakan oleh pemerintah. Di kantin universitas, pemerintah memberikan subsidi. Bagi yang punya kartu mahasiswa, cukup membayar 2 Euro untuk sekali makan, sedangkan yang tidak memegang kartu mahasiswa, harus membayar sekitar 7 euro, tergantung menu makanan. Menu yang ada di kantin universitas juga diperhitungkan nilai gizinya.
Para pekerja—dengan semua jenis pekerjaan—dilindungi oleh pemerintah. Tukang cuci piring, akan dilatih oleh pemerintah dan akan diberikan sertifikat. Jadi, siapa pun yang menggunakan jasanya, pemerintah telah mengatur gaji yang layak untuk seorang tukang cuci piring.
Anda jangan bertanya jika profesinya sebagai seorang guru, tukang cuci piring saja dilindungi dengan kebijakannya, apalagi yang mencerdaskan anak bangsa mereka.
Legislatif dan eksekutif hadir untuk menjawab segala permasalahan (kebutuhan) rakyatnya. Pikiran mereka bergotong royong untuk visi yang sama: memberikan kesejahteraan pada rakyat yang sedang mereka pimpin, yang sedang mereka wakili. Rakyat merasa tenang dan nyaman sehingga Finlandia berturut-turut terpilih sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di dunia.
Terakhir, mereka memandang bahwa setiap anak yang lahir adalah ‘Sumber Daya Alam’ sehingga perlu dijaga, dirawat, dan diberi pendidikan yang berkualitas. Kita, masih memandang Sumber Daya Alam itu seperti minyak bumi, emas, yang membuat kita meu klok sabe keu droe droe dalam memperebutkannya.
Tentu saja, Finlandia bisa begitu, bukan simsalabim. Mereka telah memulainya sejak lama. Saya pikir, kita pun bisa seperti Finlandia. Wallahua’lam bishawab.
Zubir, Peserta short course pada pada program “Curriculum Development for Climate Change Education”, Finlandia dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe.
Belum ada Komentar untuk "Syariat Islam, Peukateun Aceh, dan Rahasia Kebahagiaan orang Finlandia"
Posting Komentar