Investasi Pendidikan Aceh, 'Choh Ujong'?
AGUSTUS 2008 lalu, ada harapan besar saat Pemerintah Aceh mengirim talenta muda Aceh ke Paraguay untuk memperdalam jurus mengolah si kulit bundar. Selama 3,5 tahun mengenyam pendidikan, mereka “menguras” uang rakyat Aceh untuk bertahan hidup dan “membeli” ilmu di sana. Tidak cilet-cilet, dana segar sebesar Rp 42,8 miliar dikucurkan untuk memuluskan mimpi besar itu; Pulang dengan membawa segunung bekal bermain di atas lapangan hijau.
Namun mimpi besar itu, kandas seiring berjalannya waktu. Anak muda yang digadang-gadangkan memperkuat ‘timnas’ Aceh, terpaksa tercerai berai dan mencari jalan masing-masing. Bukan karena mereka tidak lihai di lapangan hijau, tetapi mereka kehilangan “payung” untuk berteduh. Ketidakjelasan nasib mereka sepulang dari negeri Amerika Latin, menjadi catatan besar bagi Pemerintah Aceh betapa perjuangannya mengangkat persepakbolaan Aceh belum lah usai hanya sampai mengirimkan ke luar negeri.
Belakangan, Pemerintah Aceh, melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), kembali “bernafsu” melanjutkan program yang penah digagas pada masa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Kali ini, negeri yang dituju adalah Spanyol, kiblat sepakbola dunia. Misi yang diusung adalah membidik cabang sepak bola di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat. Namun pertanyaannya, akankah nasib yang sama kembali terulang? Beranjak dari pengalaman, tidak salah jika masyarakat menilai, ambisi Dispora tidak lebih dari agenda bagi-bagi duit.
Investasi jangka panjang
Menyadari pendidikan sebagai investasi jangka panjang, pemerintah Aceh, membentuk Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) yang bertujuan memberikan beasiswa pendidikan tinggi dalam dan luar negeri. Setiap tahun dana besar di LPSDM Aceh dibagi-bagi untuk putra-putri terbaik Aceh, dengan harapan kelak mereka bisa pulang dan membangun Aceh. Namun, setelah lulus pendidikan, para alumnus seperti menemukan “jembatan patah” untuk menyalurkan ilmunya.
Menyadari pendidikan sebagai investasi jangka panjang, pemerintah Aceh, membentuk Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) yang bertujuan memberikan beasiswa pendidikan tinggi dalam dan luar negeri. Setiap tahun dana besar di LPSDM Aceh dibagi-bagi untuk putra-putri terbaik Aceh, dengan harapan kelak mereka bisa pulang dan membangun Aceh. Namun, setelah lulus pendidikan, para alumnus seperti menemukan “jembatan patah” untuk menyalurkan ilmunya.
Hal ini, misalnya, pernah menimpa lulusan Jerman beberapa waktu silam. Terlepas dari polemik yang berkembang di masyarakat, yang menyebutkan mereka “cengeng” tentu tidaklah sepenuhnya benar. Bagaimana pun kita perlu memberikan apresiasi akan sikap idealis yang mereka tanamkan untuk tetap mengabdi pada Aceh, bukan malah bekerja di luar Aceh. Tentu yang demikian adalah sebuah “pengkhianatan”.
Selain dari Pemerintah Aceh, banyak juga beasiswa dari pemerintah pusat yang diberikan kepada putra-putri Aceh. Pada 2005, Mendiknas, melalui Program Pendidikan Tenaga Kependidikan (PPTK) merekrut sejumlah putra-putri terbaik Aceh untuk digodok menjadi Guru Matematika di seluruh SMK di Aceh.
Di bawah asuhan FMIPA Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, mereka “dicetak” untuk menjadi “pendekar pendidikan” yang sakti. Pada awal perekrutan, para calon guru tersebut dijanjikan (tertulis) akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun nyatanya, nasib mereka sampai hari ini (setelah 3 tahun lulus dari 2009) masih dalam tanda tanya besar.
Hal yang sama juga menimpa para Alumni TKJ (Teknik Komputer Jaringan) yang menempuh pendidikan di FMIPA Unsyiah dan Politeknik Negeri Lhokseumawe. Program beasiswa yang sama, yaitu PPTK, diperuntukkan untuk calon tenaga Komputer (Laboran) di seluruh SMA/MA/SMK di Aceh. Namun sampai hari ini, lagi-lagi, tak ada kejelasan dari dinas terkait.
Begitu pun dengan cerita yang dialami Alumni PPGT (Pusat Penataran Guru Teknik) Medan, Malang, dan Bandung. Mereka disiapkan untuk menjadi Guru Teknik di SMK di Seluruh Aceh. Namun kondisi di lapangan pasca pendidikan, juga membuat mereka terpaksa “pindah channel”.
Berpalingnya para penerima beasiswa di atas yang penulis sebutkan, bukan tanpa sebab. Seperti penerima beasiswa dari PPTK, PPGT, setelah mengantongi Ijazah Sarjana, mereka melakukan “pengaduan” pada Dinas Pendidikan, baik Dinas Pendidikan Provinsi maupun Daerah. Namun sayang, tak ada jalan keluar. Lambat laun, status HLT (Honor Lillahi Ta’ala) yang mereka sandang, “terpaksa” ditinggalkan.
Terkatung-katung
Baru-baru ini, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikian (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang tergabung dalam Program Beasiswa Calon Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) juga bernasib lebih kurang dengan cerita diatas. Bahkan, lebih sadis lagi, Perjuangan mereka terkatung-katung di tengah jalan. Pasalnya, seperti yang diberitakan Serambi Indonesia (30/1/2013) beasiswa dari pemerintah Aceh yang selama ini mereka terima sudah distop. Alasannya, karena kontrak telah berakhir.
Baru-baru ini, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikian (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang tergabung dalam Program Beasiswa Calon Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) juga bernasib lebih kurang dengan cerita diatas. Bahkan, lebih sadis lagi, Perjuangan mereka terkatung-katung di tengah jalan. Pasalnya, seperti yang diberitakan Serambi Indonesia (30/1/2013) beasiswa dari pemerintah Aceh yang selama ini mereka terima sudah distop. Alasannya, karena kontrak telah berakhir.
Tentu, mimpi buruk ini, semoga saja sebatas mimpi. Pendidikan mereka harus dilanjutkan dengan kembali mencair dana tahun ini. Dan kedepan, setelah mengantongi ijazah sarjana, mereka sangat kita harapakan akan “diperhatikan” oleh Pemerintah Aceh. Seperti dengan memberikan ikatan kontrak kerja, dengan jerih yang “cukup.”
Melihat fenomena di atas, pada dasarnya Pemerintah Aceh, maupun pemerintah pusat, sudah melakukan banyak hal untuk mendongkrak kemajuan Aceh. Beasiswa yang diberikan tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar negeri, untuk jenjang pendidikan S1, S2, dan S3. Paling tidak, niat baik pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis, patut kita acungi jempol.
Jika ada tindak lanjut pascalulus pendidikan, tentu akan lebih sempurna lagi. Dana besar yang diambil dari kantong rakyat Aceh, akan tepat sasaran. Namun jika tidak, investasi besar yang sedang dan akan dikucurkan, baik bidang pendidikan sebagai investasi jangka panjang, maupun nonpendidikan, akan bernasib tidak happy ending alias choh ujong dalam istilah bahasa Aceh.
[Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Senin, 18 Maret 2013.]
Belum ada Komentar untuk "Investasi Pendidikan Aceh, 'Choh Ujong'?"
Posting Komentar