UN 2013, 'Peu Haba'?

KONTROVERSI pelaksanaan Ujian Nasional (UN), bisa dibilang sudah berakhir. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Menteri Pendidikan, M Nuh, sudah menutup pintu dialog untuk membahas perlu tidaknya pelaksanaan UN. Mau tidak mau, suka tidak suka, UN tetap harus dijalankan.

Sangat menarik membaca opini J Sumardianta, “Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasioanal” sebagaimana dimuat Koran Tempo (13/4/2012), dimana dikisahkan pelajar dan guru di Indonesia telah lama menjadi kodok rebus. 
Seekor kodok normal, sehat, dan lincah ditaruh dalam panci berisi air bersih. Panci kemudian dipanasi dengan suhu sedikit demi sedikit dinaikkan. Kodok tidak merasakan adanya perubahan. Kodok mati terebus tanpa reaksi apa pun saat air mendidih. Kodok lain, yang langsung dicemplungkan ke dalam panci berisi air panas, spontan dengan gerakan beringas melompat keluar menyelamatkan diri. Fenomena kodok rebus adalah metafora bagi bangsa Indonesia yang tidak mampu membaca dan menanggapi betapa bobroknya sistem persekolahan.
Di Serambi edisi Senin (15/4/2013), Arbai, dalam opininya “Qua Vadis Ujian Nasional?” juga mengajak kita untuk kembali melihat sisi “kebrutalan” UN. Beliau menyebutkan, sekolah, jika menganut sistem UN, tak lebih dari lembaga kursus. Pendidikan tidak lagi mengacu pada proses, tapi pada hasil. Berhasil tidaknya pendidikan akan dijawab oleh angka yang tertera manis di kertas mahal bernama ijazah. Di sisi yang lain, pelaksaan UN, menurut M Nuh, untuk mendongkrak pendidikan Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah Finlandia, sebagai negara dengan sistem pendidikan termaju di Dunia meningkatkan pendidikan dengan sistem UN?
Tentu tidak. Namun sekali lagi, kontroversi tersebut telah berakhir. Kondisi hari ini, bukan lagi perlu tidaknya pelaksaan UN, tapi bagaimana cara menghadapi UN. Tentu, dengan tidak menghalalkan segala cara. Bukan karena kita beranggapan UN adalah sebuah sistem yang salah (menurut pendapat masing-masing) sehingga memberi kemudahan (baca: membantu) siswa dalam melewati hari “maut” tersebut.
Pelaksanaan UN dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Mulai dari standar kelulusan yang semakin tinggi, hingga jumlah paket soal yang bertambah. Berdasarkan kacamata penulis, dua hal diatas, sah-sah saja dilakukan Pemerintah. Dalam hal standar kelulusan, misalnya, ini tidak lain karena ilmu pengetahuan semakin berkembang. Bagaimana mungkin kita menghadapi tantangan global, jika standar sebuah pendidikan masih mengacu pada standar lama.
Sedangkan jumlah paket soal yang tahun ini mengalami peningkatan drastis, yaitu 20 paket soal, ini karena beranjak dari “sakit hati” nya pemerintah ketika tahun-tahun sebelumnya di kecewakan oleh (sebagian) sekolah di seluruh Indonesia. Kecurangan yang terstruktur, telah menjadi rahasia umum, sehingga pelaksaan UN, sama sekali tidak menjadi acuan keberhasilan pendidikan Indonesia. Malah UN menjadi lelucon bagi siswa sendiri.
Mengapa penulis katakan lelucon? Ini beranjak dari pengalaman penulis saat menjadi pengawas UN. Pada 2012, misalnya, waktu yang disediakan untuk menjawab soal selama 2 jam, terasa sangat lama. 30 menit pertama, seluruh siswa sudah menandai seluruh jawaban. Selebihnya, tinggal menghitamkan jawaban hingga waktu berakhir. Tidak sedikit diantara mereka, yang tidak sabar berlama-lama. Sehingga, sambil menunggu waktu berakhir, diisi dengan duek raheung atau mengganggu siswa yang lain.
Perbedaan UN 2013
Perbedaan UN 2013, pertama sekali penulis rasakan ketika mengikuti rapat pengawas UN yang dilaksanan dinas pendidikan. Dalam orasinya, pihak dinas pendidikan, berkali-kali mengulang sebuah pesan kepada seluruh guru, agar menyampaikan kepada siswa di sekolah masing-masing, supaya tidak percaya pada kunci jawaban yang (jika) nantinya beredar. Ini sangat kontras sekali dengan rapat tahun sebelumnya, dan sebelumnya, dimana pesan yang biasanya muncul adalah “mari sama-sama kita membantu anak-anak kita” sebuah pesan yang indah, namun sayang, salah kaprah.
Perbedaan kedua penulis rasakan saat mengawas di kelas. Waktu yang disediakan selama 2 jam, terasa sangat sedikit. Setiap detik yang berlalu, benar-benar sangat baik digunakan oleh siswa. Bahkan saat penulis mengingatkan bahwa waktu akan berakhir 15 menit lagi, terlihat wajah mereka seakan meminta pada jam dinding, untuk berhenti sebentar. Di satu sisi, penulis sangat iba dengan “adu nasib” mereka, tapi jika membayangkan kondisi tahun-tahun sebelumnya, penulis juga merasakan iba. Tapi dengan warna yang lain. Lantas, bagaimana sebaiknya? Entah!
Kecurangan UN, secara tidak langsung, telah mengajari siswa, seakan pada kondisi tertentu (tertekan) boleh melakukan kecurangan. “Pendidikan kecurangan” yang kini sedang dipraktikkan disekolah, tentu tidak berdampak pada hari itu juga, tetapi akan berdampak pada sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, saat mereka nantinya, berada di tengah-tengah masayarakat: menjadi wakil rakyat, pemangku pendidikan, ataupun pengusaha.
Terlalu “berlebihan” jika kita berharap bahwa kondisi Negara akan berubah, jika sistem pendidikan nasional tidak pro pada kejujuran. Kasus korupsi yang sudah membudaya, Hukum yang berpihak pada yang berkantong tebal, polisi yang sering kita lihat menyelesaikan masalah dengan “damai” di Jalan, adalah sederet kehancuran, akibat satu kata yang sangat asing: Kejujuran.
Mengutip Ahmad Baedowi, benar kata Billy Joel dalam lagunya Honesty  yang pernah hits pada era 1980-an. Salah satu ungkapan yang menusuk akal dan hati soal Honesty dalam lagu tersebut adalah ungkapan “honesty is such a lonely word”. Kejujuran hanya sebuah kata tunggal, sendiri, kesepian, dan seolah memang tak punya kawan.
Tahun lalu, kita masih ingat saat Sekolah Sukma Bangsa Pidie, memecat 11 siswanya karena “tertangkap basah” melakukan kecurangan. Betapa saat itu, Sekolah Sukma Bangsa Pidie, seperti telah melakukan sebuah kebodohan besar. Namun, nilai kejujuran tidak bisa dibeli demi sebuah kata: LULUS.
Padahal jika berbicara kejujuran, Nabi besar Muhammad SAW. Telah memberi contoh teladan betapa sangat besar pengaruh kesuksesan seseorang hanya bermodalkan jujur. Seorang pengembala, menjelma menjadi pengusaha kaya raya di seluruh jazirah arab. Siti Khadijah, hartawan di tanah arab kala itu, langsung memberikan kepercayaan kepada Nabi Muhammad untuk menjalankan bisnisnya. Sekali lagi, modalnya hanyalah jujur. Tidakkah kita mengambil teladan?
Menjawab pertanyaan dari judul di atas, penulis sangat yakin, tahun ini, UN dilaksanakan dengan penuh kejujuran. Bukan kerena seluruh pelaksana pendidikan sudah insaf, tapi kali ini, hana cara untuk mengelabui teknologi barcode. Belum ada seorang manusia pun yang mampu membaca kode komputer tersebut, kecuali yang bernama Intel Pentium. Sehingga, tidak mengherankan, jika tahun ini, kita tidak mendengar adanya target yang dipasang oleh para kepala dinas. Baik di kabupaten/kota atau provinsi. Biasanya, pamer kekuatan selalu terjadi pada masa-masa menjelang UN.

[Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Selasa, 16 April 2013.]
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Belum ada Komentar untuk "UN 2013, 'Peu Haba'?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel