Selfiani, Selfiadi, Pesan Sosial dan Budaya Pamer
TAK ada seorang pun yang
berprediksi bahwa akan datang satu zaman dimana manusia suka ber-selfie. Kita
yang hidup saat ini tanpa malu-malu, mengabadikan banyak momen dengan cara
berselfie. Bertemu dengan sang idola, meluapkan kebahagian dengan berselfie.
Mengunjungi tempat yang menarik, luapannya juga sama: berselfie. Bahkan dalam
momen paling sakral sekalipun, selfi masih menjadi pilihan utama.
Beberapa waktu yang lalu, di Aceh,
ada beberapa “kebablasan” dalam berselfie. Seorang perempuan berselfie
disamping seorang ibu yang tewas dengan berlumur darah dikepalanya. Ada juga
anak muda berselfie dengan latar belakang sekumpulan orang yang terkapar tewas
di jalanan. Di luar negeri, ada dokter yang berselfie saat sedang melakukan
operasi. di Thailand, pernah berkembang Selfie Underboob, yang akhirnya "dibasmi" oleh pemerintah. Yang demikian hanyalah
segelintir kisah akan tata cara orang berselfie. Semakin ekstrem kondisinya,
seakan semakin bagus pula rating sebuah foto dan semakin tinggi pula pengakuan
dari luar.
Awalnya selfi lumrah dilakukan
oleh kaum selfiani (baca : perempuan). Pelan-pelan, berkembang dan menjangkiti
kaum selfiadi (baca : Laki-laki). Mulai dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga
tua. Yang membedakannya hanyalah kuantitas selfie. Ada yang berselfie sehari
sekali, ada yang dua kali, ada yang tiga kali, bahkan ada yang tak terhingga
kali. (Nah yang sedang baca ini, berapa kali sehari?)
Lalu, karena sudah menjadi satu
budaya di masyarakat, selfie mendapat pengakuan internasional sebagai satu
bentuk teknik fotografi ataupun dikenal dengan istilah Self Potrait. Bahkan pada tahun 2013, masuk Oxford English
Dictionary.
Sayangnya, kini selfi kerap
digunakan sebagai sarana pamer dalam mencari pengakuan. Apa yang dirasa dan
dilakukan di dunia nyata, rasanya measih belum lengkap jika tidak dibagi di
dunia maya (Sosial). Seorang karikatur di media nasioanal pernah menggambarkan
kegelisahan tersebut lewat karyanya; ia melukis seorang dermawan, tangan
kanannya bersedekah dan tangan kirinya memegang tongkat narsis. Dengan muka
tersenyum dan memandang ke arah kamera, sedangkan si miskin dibelakangnya
terlihat dengan segala kepolosan dan kemiskinannya.
Begitu juga dalam hal interaksi
sosial, selfie seakan “melarang” kita untuk berinteraksi. Sekarang, --misalnya
di tempat keramaian--sangat jarang kita temui orang yang meminta bantuan kita
untuk mengambil gambarnya. “Maaf dek, boleh minta tolong bentar fotoin kami?”.
Ah, kapan ya terakhir mendengar kata itu?
Lalu, apakah selfie itu salah?
Bersambung ***
Belum ada Komentar untuk "Selfiani, Selfiadi, Pesan Sosial dan Budaya Pamer"
Posting Komentar