Tu Sop, 8 Tahun Lebih Maju dari Pakar Internasional


ADA pesan yang sampai detik ini masih membekas dalam pikiran dan perbuatan saya, yang disampaikan oleh Tu Sop, 17 tahun silam. Pesan itu beliau sampaikan dalam bentuk tersirat dan secara langsung bertatap muka. Pada sekitar akhir tahun 2007, Tu Sop meminta kepada Universitas Syiah Kuala (USK), melalui seorang dosen, untuk membangun website Yayasan Dayah Bersaudara (Yadara). Pada saat itu, jika tidak salah ingat, nama domain website yang digunakan adalah yadara.net.

Seorang senior programmer diutus untuk membangun dari nol website tersebut. Pada masa itu, membangun website masih menjadi sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh ahli dan dikerjakan dalam waktu yang tidak singkat. Website adalah sumber informasi yang masih jarang digunakan oleh lembaga resmi negara maupun swasta, juga dianggap sebagai sesuatu yang mewah.

Menjadi sangat menarik, ketika Tu Sop tidak hanya meminta untuk dibangun website, tetapi juga meminta ada orang yang secara khusus datang ke Dayah untuk mengajari para Tgk. Dayah, bagaimana cara membangun website. Bayangkan pada masa itu, di kalangan para terpelajar kampus saja masih melihat website sebagai sesuatu yang rumit dan hanya bisa dilakukan oleh ahli, tapi Tu Sop sudah meminta USK untuk mengajari Tgk. Dayah bahasa pemrograman.

Bahkan di USK sendiri, pada saat itu, masih belum banyak ahli pemrograman website. Itu misalanya dapat dilihat, dosen yang mengajar mata kuliah Pemrograman website, diampu oleh dosen dari Jerman, yang datang ke Indonesia untuk tugas pengabdian. Saya pada waktu itu, baru saja menyelesaikan mata kuliah “Bahasa Pemrograman Berbasis Web.” Oleh seorang dosen di USK, Bapak Muslim Amiren, meminta saya untuk datang ke Dayah Babussalam, Jeunib, untuk mengajari Tgk. Dayah bahasa Pemrograman.

Selama lebih kurang seminggu, saya datang ke Dayah dan membuat kelas-kelas kecil bersama para Tgk. Dayah. Tentu saja di waktu yang singkat, tidak mungkin bisa mengajari sampai mahir, tapi saya hanya membuka simpul-simpul ilmu saja alias dasar-dasar pemrograman.

Pesan Tu Sop 

Butuh waktu sangat lama untuk saya memahami kenapa Tu Sop meminta diajari santrinya bahasa Pemrograman. Padahal bisa saja, dengan membayar sekian rupiah, website selesai dikerjakan dan dapat diakses ke seluruh penjuru dunia. Tidak perlu repot-repot untuk mengajari para Tgk. Dayah, yang secara niat mereka datang ke Dayah untuk menuntut ‘Ilmu akhirat.’ Pada saat itu, saya sempat berkesimpulan, rasanya kurang bermanfaat jika Tgk. Dayah dibekali ‘Kitab pemrograman website”

Namun, belakangan saya menyadari, bahwa life skill (keterampilan hidup) harus dimiliki oleh setiap anak manusia jika ingin survive di atas muka bumi. Terlepas dia seorang santri dayah maupun pelajar di sekolah atau universitas. Tu Sop tidak pernah memandang bahwa tugas seorang santri itu hanyalah pada urusan ibadah saja (tikui tangah—istilah Tu Sop). Tapi kecakapan pada dunia digital juga harus dikuasai oleh para santri.

Saat ini, ketika akses internet sudah menjangkau hingga ke setiap genggaman (baca: Smartphone), kecakapan digital menjadi sesuatu yang mutlak dikuasai oleh setiap anak manusia, apapun latar belakang profesinya. Sumber informasi, baik dari website maupun sosial media, bukanlah barang mewah lagi. Tu Sop sudah menyadari itu, 17 tahun silam.

Dalam peta jalan Pendidikan Indonesia, Life skill baru santer terdengar tahun 2013, ketika kurikulum 2013 diluncurkan. Kala itu, pemerintah menghadirkan satu mata pelajaran yang bernama “Prakarya dan Kewirausahaan” dengan tujuan untuk menghasilkan manusia yang memiliki keterampilan ekonomis dan wawasan penciptaan berbasis kebutuhan pasar. Di Kurikulum Merdeka, life skill semakin dianggap penting, ini misalnya dapat dilihat dari pemerintah mewajibkan setiap sekolah melakukan aktivitas pembelajaran berbasis proyek atau yang disebut P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).

Di level internasional, pada September 2015, 193 negara termasuk Indonesia, menyusun kesepakatan pembangunan global atau yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs adalah serangkaian tujuan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target berlaku sejak 2016 hingga 2030. Salah satu dari 169 target adalah “Increase the number of people with relevant skills for financial success” (Meningkatkan Jumlah orang dengan keterampilan yang relevan untuk kesuksesan finansial).

Salah satu Indikator ketercapaian target ini adalah “Remaja dan dewasa memiliki keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), berdasarkan tipe keahlian.” Ketika membaca dokumen ini yang disusun oleh para pakar di seluruh dunia, pikiran saya terbayang pada sosok Tu Sop. Seorang diri telah memikirkan ini, telah menetapkan kompetensi ini, jauh sebelum pakar dunia menetapkannya. Bahkan, konsep ini lahir dari pemimpin Lembaga Pendidikan Dayah, yang secara fungsinya melahirkan lulusan yang menjadi penerang dan penuntun ummat dalam beragama. Tu Sop 8 tahun lebih maju dari pakar internasional.

*** 
Setelah membekali dasar-dasar pemrograman berbasis web kepada para Tgk. Dayah, saya pun pamit. Mereka meminta saya untuk menambah seminggu lagi, namun saya harus kembali ke Banda Aceh. Sebagai bentuk terima kasih, saya dijamu oleh Tu Sop di rumah beliau sambil ngobrol ringan. Saya tidak ingat persis apa saja topik obrolan malam itu, tapi ada satu pesan, yang masih membekas sampai sekarang. Kata Tu Sop, “Ureng Aceh pakon han maju, karena but sijeum, gabuk si uroe.” Tu Sop menamsilkan, bahwa orang Aceh ketika ada kesibukan satu jam, tapi membuat ianya seseorang sibuk selama 1 hari penuh. Contoh kasus adalah ketika ada pesta perkawinan di kampung. Padahal harusnya ianya seseorang hanya perlu datang selama 1 jam saja ke rumah pesta perkawinan.

Ketika Tu Sop mendeklarasikan diri sebagai calon wakil gubernur, saya membayangkan kemajuan Aceh akan kita rasakan. Tu Sop, sebagaimana cerita di atas, adalah sosok yang memberi kail, bukan memberi ikan. Seperti yang digambarkan dalam Tujuan SDGs, dengan ‘memberi kail” maka target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan akan tercapai. Ini sejalan dengan upaya mengeluarkan Aceh dari jeratan provinsi termiskin, dan dari ketimpangan sosial.

Sosok Tu Sop, dikenal bukan hanya sebagai seorang ulama, tapi juga pengusaha sukses, inovator yang memiliki visi jauh ke depan. Pesan-pesannya selalu dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, yang menyejukkan dan menentramkan. Kepergian Tu Sop, sebagaimana dipesankan oleh Abi Zahrul Mubarak (Abi Mudi), mungkin inilah cara Allah menyelamatkan Tu Sop dari segala fitnah dunia. Yang lebih mendalam, kepergian Tu Sop, masyarakat Aceh bukan kehilangan calon wakil gubernurnya, tapi kehilangan penerangnya.

Perjuangan Tu Sop tidak boleh berhenti. Semangat untuk memperbaiki negeri dari kalangan Dayah, telah ditanam pondasi, dalam bahasa Aceh disebut cah rauh, oleh Tu Sop. Negeri ini tidak bisa diperbaiki dari luar pagar, tapi harus masuk dan berada “di dalam rumah”. Wallahua’lam bissawab.
Zubir Agani Seorang guru di sekolah swasta

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Tu Sop, 8 Tahun Lebih Maju dari Pakar Internasional"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel