Setelah Indonesia membelah lautan
Dalam kosakata bahasa aceh, ada
yang dikenal dengan broh putoh. Broh bermakna
sampah, putoh bermakna terpotong. Jika
diterjemahkan secara (mendekati) benar, ia adalah perkataan yang tidak penting
atau dalam kosakata yang lain, sebanding juga dengan Haba bangai (perkataan bodoh).
Ternyata kosakata diatas seakan
menjelaskan kondisi sebenarnya bangsa indonesia. Kenapa bisa demikian? Ada beberapa
analisa yang tiba-tiba saja menjadi “beban” pikiran saya.
Pertama, Kehadiran media
sosial kini telah membuka lebar lahan bagi siapapun untuk berbicara apa saja. Termasuk
apa yang tidak ia ketahui. Jika ada sayembara orang terpandai di dunia, maka
netizen indonesia akan keluar sebagai jawara. Hari ini orang menyikapi beragam
persoalan bangsa melalui kata-kata kotor. Dan kadang—sayangnya, banyak yang
dikomentari tidak memiliki dasar yang jelas, alias berkomentar pada berita broh putoh.
Lalu, broh putoh itu berkembang, viral, hingga mencapai pada satu titik terakhir:
kegaduhan.
Begitulah saban harinya, kita
hidup dibawah kondisi yang sangat gaduh, yang jika ditarik benang, kegaduhan
itu berasal dari broh putoh. Hufffftt.... adek lelah, bang.
Kedua, eforia yang
berlebihan. Sore tadi, 13 September 2017, adalah laga kedua timnas muda
indonesia menggunduli lawannya. Sore tadi pula, Brunei Darussalam harus
menerima naasnya, setelah sebelumnya, timnas Filipina sebagai mangsa pertama—disini
saya tidak menyinggung kekalahan dengan vietnam.
Bagi saya, yang menarik dari
kedua laga tersebut adalah komentatornya. Dua orang yang berbicara di balik
layar, seakan telah mewakilkan kondisi 255 juta jiwa masyarakat indonesia. Sepanjang laga, komentator memandu dengan kosakata broh putoh.
Yah, mungkin saja itu pesanan televisi karena pada
hakikatnya begitulah kondisi yang dibutuhkan masyarakat indonesia, yang saban
hari bergumul dengan broh putoh di
media sosial. Haba bangai adalah
kebutuhan primer ketiga, setelah pulsa internet di posisi pertama, dan makan
minum di posisi kedua.
Maka tak ayal, kelihaian televisi
membaca pasar, adalah satu wujud apresiasi.
Namun, ketiga, ada satu kacamata
lain, yang menurut saya tidak salah juga untuk ditelaah. Itu adalah sikap rendah
hati yang tidak dimiliki bangsa indonesia. Ketika sedang berada diatas—atau merasa
berada diatas karena ketinggian ilmu atau kemampuan yang dimiliki, maka
kondisinya adalah menyombongkan diri. Dan padanannya, merendahkan orang lain—juga
dalam konteks ini merendahkan tim lawan.
Coba kita simak beberapa
penggalan isi komentator;
(k1) “...Adalah egi yang juga dikenal
sebagai messi nya indonesia yang telah menorehkan namanya dipapan skor sama
sekali tidak mau bermusyawarah dengan pemain pemain belakang brunei hingga
mereka terlihat kocar kacir tidak mampu menyetop bola yang mengalir deras... “
(k2) “...Bagaimana kita lihat egi
mengelakkan badannya, sudah shooting, sudah di block, tapi masih mampu merobek
jala gawang brunei, sehingga benar-benar pantas disebut messinya indonesia. Dimana
kita tau bahwa brunei belum pernah melewati fase grup, dalam sejarah piala aff u-19.
Selain juga dijuluki messi, egi juga perlu dijuluki predator, hanya dari satu
sentuhan egi mampu melesakkan bola ke gawang, dan ini jarang sekali dimiliki
oleh pemain sepakbola dimanapun berada..”
Komentator pertama tidak mau
kalah....dalam gol yang lain,
(k1) “...kita lihat dalam tayangan ulang
pergerakan yang sangat sistemik, terencana, dan chantik pergerakan segitiga
yang diberikan, di heding tanpa ampun tanpa amnesti oleh striker kita yang satu
ini bung pinder...”
(k2) “...Ia, kita lihat bagaimana semua gol yang
dihasilkan oleh indonesaia adalah gol
yang tersusun secara kif play (maaf saya tidak tau apa itu
kif play, mungkin saja salah tulisannya)---tiba tiba komentaror pertama
memotong dengan cerita yang lain.
Beberapa rangkuman, hingga
menjadi viral: Tendangan gravitasi, julukan
menteri pertahanan kepada kiper, tendangan LDR, tendangan melengkung tega tega tega tega... hingga tendangan membelah lautan.
Begitulah. Indonesia. Harusnya kita
belajar dari korea selatan, bagaimana mereka hanya dalam waktu 10 tahun, fokus
membina sepakbola, hingga menjadi tim yang diperhitungkan di dunia. Padahal jika menilik sejarah sepakbola korea
selatan, masyarakat korea sama sekali tidak menaruh cinta pada sepakbola, mereka
lebih mencintai baseball.
Jika saja bob sadino masih hidup,
mungkin ia akan menasehati begini: belajarlah mengosongkan gelas.
Setelah indonesia membelah
lautan, kira kira apa lagi ya? Jangan cepat merasa puas, bangsaku. Jadilah pribadi
yang selalu menunduk tatkala sedang diatas, dan tawadhu tatkala sedang dibawah.
Menang bukan berarti menghina lawan, kalah bukan berarti menyalahkan lawan.
Lhokseumawe, 13 September 2017
Lhokseumawe, 13 September 2017
Belum ada Komentar untuk "Setelah Indonesia membelah lautan"
Posting Komentar