Memahami Kebutuhan Generasi Gadget
RAFIA FADILA,
siswa kelas VI SDN 36 Pekanbaru, telah membuka mata anak-anak Indonesia, bahwa dokter, insinyur, pilot, bukan lagi cita-cita wajib semasa kanak-kanak. Video
yang sempat viral tersebut membuat pemilik kursi nomor 1 di Indonesia, tepok
jidak. Momen memperingati Hari Anak Nasional 2017, seakan mendeklarasikan satu
diantara ribuan jenis pekerjaan masa depan yang perlu dan wajib disongsong dari
sekarang. Sebelum kehadiran situs youtube—yang kini telah diakuisasi google,
tentu kita tidak mengenal adanya pekerjaan sebagai youtuber.
Anak muda Indonesia,
seperti Edho Zell, telah meraup ribuan dolar dari situs youtube.com. Tentu, ada
ratusan ribuan anak muda yang lain, bahkan kita juga mengenal Pew Die Pie, gamer berpengahasilan
terbesar di youtube, yang akhirnya dijadikan oleh Rafia Fadila sebagai salah
satu sosok inspirator. Hingga ia bercita-cita menjadi youtuber. Lalu, salahkah
jika anak-anak kita bercita-cita seperti itu?
Saat ini, tak
ada yang mampu menolak pekembangan teknologi. Gadget yang hari ini seakan telah
menjadi kebutuhan primer, adalah buah dari penyempurnaan karya Alexsander
Graham Bell, berabad silam. Dalam hitungan waktu yang tidak lama lagi,
perangkat televisi akan segera ditinggalkan. Kebutuhan Kids jaman now, semuanya telah tersaji di jejaring sosial, situs
online, media konten bebasis video, hingga komunikasi berbasis android melalui
ragam pilihan aplikasi messenger.
Atas pada
kondisi diatas, maka sebagai pemerintah, masyarakat, guru, orang tua, perlu
segera berbenah menyusun langkah-langkah strategis, bersinergi dengan teknologi
milenial untuk nantinya digunakan oleh generasi digital sebagai media belajar, media komunikasi, dan partner dalam bekerja.
Gadget, untuk siapa?
Tak bisa
dipungkiri, bahwa masih banyak diantara kita yang memposisikan gadget sebagai
sebuah momok. Kehadiran gadget dipandang banyak negatifnya. Sehingga, jalan
pintas yang muncul adalah melarang untuk bersentuhan dengan gadget. Terutama untuk
kalangan pelajar tingkat Sekolah Dasar (SD).
Misalnya, yang
dipahami dan berkembang di masyarakat, akan aturan yang diterapkan oleh
revolusioner teknologi gadget, Steve Jobs, adalah “say no to gadget”. Begitu
juga yang dilakukan oleh pemilik microsoft, Bill Gates. Steve Jobs dan Bill Gates
yang kita nobatkan sebagai master shifu
nya teknologi saja, melarang anak-anak mereka untuk menggunakan gadget. Apalagi
kita sebagai orang awan, adalah seakan sebuah kebablasan jika justru tidak
sepakat dengan tetua teknologi.
Padahal, jika
dipahami dengan sempurna, tidak ada larangan penggunaan gadget bagi anak-anak
mereka, justru yang ada adalah membatasi penggunaanya, supaya tidak terjebak
dalam kecanduaan. Serta, memberikan batas minimum umur untuk kepemilikan
gadget. Ini artinya, anak baru diberikan hak penuh memiliki gadget jika sudah
mencapai usia 14 tahun; tentu tetap mengacu pada aturan penggunaan. Seperti, membatasi
screen time, sehingga mereka punya
waktu lebih banyak untuk dihabiskan bersama keluarga, tidak dibolehkan membawa
gadget pada saat makan, menentukan jam berlaku untuk melihat televisi dan
gadget setiap hari sehingga anak-anak bisa pergi tidur lebih awal dibanding
anak lain. (id.theasianparent.com)
Anak yang lahir setelah
tahun 2000 adalah generasi Z atau generasi digital; ketika tangisan pertama
muncul, beberapa detik kemudian ia langsung tampil di media sosial. Kabar
pertama kelahirannya langsung di sambut oleh warga digital. Bahkan para
tetangganya pun—yang terkoneksi di media sosial—mengetahui kelahirannya dari media
sosial juga. Sehingga, umur 0
hari, ia sudah menjadi warga digital, atau yang sering diistilahkan oleh media
dengan sebutan warganet.
Bahkan, pada saat dalam kandungan sekalipun, janin
sudah merasakan adanya sentuhan jari ibunya pada layar touchscreen Smartphone. Semua yang berhubungan dengan
teknologi digital akan menjadi teman terdekatnya. Jika ada pertanyaan, gadget
untuk siapa? Maka jelas, untuk generasi digital, yang saat ini sedang di bangku
Sekolah Dasar (SD). Siswa SD saat ini
adalah digital native. Yang artinya, jika proses transfer ilmu atau metode
pembelajarn yang dilaksanakan disekolah masih menggunakan cara konvensional,
maka akan terjadi kesenjangan antara guru dengan siswa.
Marc Prensky,
pada tahun 2011, menulis keresahannya dalam artikel “Digital Natives, Digital
Immigrants”. Menurutnya, teknologi telah
mengubah cara siswa berpikir dan memproses informasi. Sehingga sulit bagi siswa
untuk unggul secara akademis menggunakan metode pengajaran yang sudah usang.
Mungkin inilah maksud dari pesan
Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka
hidup bukan di zamanmu”.
Ilustrasi: Muhammad Afkar, anak saya yang ke-2 saat bersama gadget
Menuju Generasi
Cerdas Literasi Digital
Merujuk pada amanat
Kurikulum 2013 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (PERMENDIKBUD) No. 21 tahun 2016, tentang Standar Isi,
pada tingkat Pendidikan Dasar (SD), kehadiran gadget sebagai media belajar akan
menjawab pencapaian empat ranah Kompetensi Inti (KI); Sikap Spiritual, Sikap Sosial,
Pengetahuan, dan Keterampilan.
Untuk KI Sikap Sosial
misalnya, pencapaian kompetensi sikap yang diharapkan, siswa memiliki perilaku percaya
diri. Sejalan dengan kondisi siswa SD yang dalam tahap pertumbuhan memiliki
semangat dan rasa ingin tau yang tinggi. Maka, jika proses pembelajaran diramu
dengan media yang mereka senangi, akan mampu membentuk karakter percaya diri
anak.
Untuk KI
Pengetahuan; kompetensi yang diharapkan, siswa memahami pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat dasar dengan 3 cara; mengamati, menanya, dan mencoba. Melalui 3
cara ini bisa diintegrasikan pada semua mata pelajan melalui gadget. Dalam
pelajaran Sains, misalnya, pada materi Perkembangbiakan, siswa dapat mengamati
proses perkembangbiakan kupu-kupu dalam bentuk video yang ada di youtube, atau di
share oleh guru melalui Bluetooth.
Setelah proses
mengamati selesai dilakukan, siswa dapat bertanya pada guru jika ada hal-hal
yang kurang dipahami. Terakhir, siswa bisa mencoba atau mengumpulkan informasi;
dapat melalui menonton video yang lain tentang perkembangbiakan, atau
mengaitkan dengan binatang peliharaan yang ada dirumah atau di sekitar.
Yang diatas,
baru contoh untuk mata pelajaran sains, belum lagi untuk mata pelajaran PKn. Untuk
materi mengenal kepulauan di Indonesia, ada banyak sekali aplikasi yang bisa
digunakan. Seperti, Google Maps, Marble–yang juga tersedia visual citra
satelit saat malam, ini bisa juga diintegrasikan dengan mata pelajaran agama,
atau Kompetensi Inti Sikap Spiritual—, Virtual
Earth 3D—aplikasi menakjubkan yang mampu melihat dunia dalam pandangan tiga
dimensi—, Aple Map, Nokia
Here, Nasa Word Wine, dan masih
banyak lagi. Jika ini bisa diterapkan di
kelas, maka sudah pasti pembelajaran akan memenuhi model Pembelajaran Aktif,
Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM).
Sedangkan pada
KI Keterampilan, kompetensi yang diharapkan, siswa mampu menunjukkan
keterampilan berpikir dan bertindak dalam bentuk; kreatif, produktif, kritis,
mandiri, kolaboratif, dan komunikatif. Tanpa perlu berpikir panjang, kotak
kecil yang dijuluki smartphone itu
mampu menjawab semuanya.
Generasi gadget
adalah generasi kreatif. Pembelajaran menggunakan media gadget akan
menfasilitasi siswa untuk menghasilkan sebuah kreatifitas. Keberadaan fitur
kamera dapat digunakan untuk menghasilkan dokumentasi dalam bentuk video. Saat
ini tersedia banyak sekali aplikasi editing video secara gratis dan tentunya user friendly, sehingga sangat
memungkinkan dioperasikan oleh siswa SD.
Untuk satu
bentuk aktivitas belajar saja, yaitu membuat video, siswa sudah mampu menghasilkan
sebuah produk (produktif), memecahkan masalah dalam setiap proses (mandiri), menyampaikan
pesan dalam video (kritis), bekerja sama (kolaboratif), hingga mempresentasikan
hasil karya (komunikatif).
Dalam bentuk
yang lain, fungsi gadget bagi siswa SD bisa diaktualisasikan dalam menjalankan
Gerakan Literasi Sekolah. Sambil duduk dibawah pohon atau di area yang sejuk, siswa
bisa membaca buku bacaan digital, yang tentunya bisa dibuka melalui gadget.
Bentuknya yang mungil, praktis, bisa dibawa kemana-mana, akan memudahkan siswa
untuk membawa ribuan buku yang ia suka, yang tersimpan di kotak micro memory.
Masih sebagai
sumber belajar, melalui gadget dapat diterapkan pembelajaran berbasis
elektronik atau yang lebih kita kenal dengan e-learning.
Dalam pengalaman penulis di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe, ketika sedang
merampungkan tulisan ini, baru saja di launching
sistem e-learning. Yang nantinya
untuk tahap awal, akan diperuntukkan bagi siswa kelas tinggi. (lihat: http://103.225.66.152/lhokseumawe/elearning/)
Harapannya, untuk mengakses materi belajar, siswa SD tidak lagi dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Mendampingi anak
dalam menggunakan gadget
Sayangnya, gadget
tak hanya memiliki satu mata pisau, Ia bisa merusak, hingga menggagalkan masa
depan anak. Tanpa pendampingan dari orang tua, guru, maka besar kemungkinan
anak akan berhadapan dengan kemungkinan terburuk.
Seperti, dengan
banyaknya kemudahan dari gadget, maka dikhawatirkan akan lahir generasi strawbery, generasi yang lemah, tidak
tahan terhadap persoalan. Gadget memungkinkan anak untuk berselancar secara
bebas di seantero internet, sehingga dengan mudah mereka menemukan hal-hal baru,
dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal belum tentu, apa yang
ada di internet adalah baik dan bisa dijadikan rujukan. Ketidakmampuan siswa SD
memilah milih yang baik dan tidak baik, maka mutlak perlu di dampingi, bukan di
jauhkan.
Dari segi
hubungan sosial, dikhawatirkan jika anak terlalu intim dengan gadget, maka akan
membuat anak kesusahan dalam menjalin komunikasi di kehidupan nyata. Selain
juga terdapat bahaya radiasi yang muncul, Obesitas-karena anak-anak kurang
bergerak, hingga gangguan tidur. Tentu masih banyak efek negatif lainnya, yang
jika orang tua abai, maka akan mengancam masa depan anak.
Lalu, apakah
hanya karena ketakutan akan efek negatif gadget, menghalangi generasi digital
untuk mengenal dan menggunakannya sejak dini? Penggunaan gadget yang baik
adalah dengan membatasi dan mendampingi. Dirumah, penggunaanya di dampingi oleh
orang tua. Di sekolah, dibawah kontrol penuh guru—tentu berdasarkan kebutuhan. Karena
ketidakberdayaan kita menolak kehadiran teknologi, maka satu-satu jalan adalah
memanfaatkannya dengan menyuguhkan hal yang positif.
Mengakhiri
tulisan ini, ada harapan besar yang kita wariskan pada anak cucu kita. Hamparan
informasi yang luas terbentang di seantero internet, dengan jutaan kemudahan
dari jutaan aplikasi, akan membawa mereka menggenggam masa depan. Teknologi
adalah tempat generasi digital menancapkan mimpi-mimpinya tanpa batas ruang dan
waktu. Menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang cerdas literasi, adalah
terlebih dahulu membentuk generasi yang menyongsong mimpi besar, melalui
teknologi. Semoga!
Belum ada Komentar untuk "Memahami Kebutuhan Generasi Gadget"
Posting Komentar