Kurikulum ini itu dan Penilaian
Dinamika Penilaian
Tak salah jika
kita kembali merefleksi bagaimana dinamika sekolah dalam memberikan nilai rapor
yang tak hanya sebatas angka-angka. Angka-angka itu merepresentasi proses
panjang yang mengerahkan segala daya upaya dan melibatkan para pihak. Dalam
memberikan nilai rapor, guru memperhitungkan banyak hal sebagai pertimbangan,
dan biasanya pertimbangan nonteknis pembelajaran. Pertama, memberikan nilai
kasih sayang kepada siswa karena sikapnya dianggap sopan di kelas. Padahal
dalam kurikulum telah jelas dipisahkan antara penilaian pengetahuan dan
penilaian sikap.
Kedua, takut diprotes orangtua.
Kondisi ini lumayan banyak terjadi di kalangan orangtua yang tidak siap
menerima nilai rendah anaknya. Pernah ada orangtua komplain nilai mata
pelajaran agama Islam rendah karena—menurutnya--anaknya pintar mengaji. Ada
juga yang ingin memasukkan anaknya ke fakultas kedokteran, tidak akan diterima
jika nilai matematika dan bahasa Inggrisnya rendah, juga banyak lagi cerita
lain.
Ketiga, ini sepertinya sudah terjadi
secara sistemik di lingkungan pendidikan kita, sudah berada di fase sangat
mengkhawatirkan. Guru merencanakan nilai anak sejak awal supaya nanti bisa
masuk ke universitas melalui jalur undangan. Guru memberikan nilai rendah
dianggap telah menghancurkan masa depan anak. Dalam praktik lain, ada pola
menabung nilai di setiap semester. Misalnya di semester 1 siswa mendapat
(diberikan) nilai 90, maka yang dipasang di rapor ialah 85. Sisanya disimpan
untuk semester depan supaya grafik nilai siswa menaik, dan ini akan dianggap
bagus oleh universitas. Ini bukanlah semata-mata atas inisiatif guru mata
pelajaran, tapi sudah tersistem dari sekolah.
Keempat, guru pemalas. Saya
berdiskusi dengan banyak guru di banyak sekolah. Mereka bercerita tentang
kondisi sekolah masing-masing. Ada hak-hak siswa dalam proses pembelajaran
tidak dipenuhi guru, seperti hak siswa untuk remedial, yaitu siswa secara
pengetahuan belum memenuhi tujuan pembelajaran. Akan tetapi, karena gurunya
malas, biasanya akan diberikan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau
bahkan nilai bagus. Harusnya guru melakukan proses remedial, proses
pendampingan untuk perbaikan.
Generasi Stroberi
Nilai rapor yang tidak merepresentasi
kemampuan siswa yang sebenarnya, pada dasarnya inilah cara sekolah melahirkan
generasi stroberi. Istilah ini muncul untuk menggambarkan generasi Taiwan yang
lahir di 1980-an, masa pascaperang. Mereka tidak mau anaknya susah seperti
mereka ketika masa perang, dan memanjakannya dengan segala fasilitas yang mewah
(nytimes.com).
Kini kondisi seperti itu menimpa
lingkungan pendidikan kita. Setidaknya empat alasan guru memberikan nilai dalam
rapor di atas adalah bentuk upaya kita dalam memanjakan mereka, memberikan
kemewahan, membenarkan untuk mereka berleha-leha. Jadinya, mereka tidak punya
‘kesempatan’ untuk menempa diri dalam hal kemandirian, daya tahan, daya juang,
serta karakter bertahan di segala tantangan. Mereka menjadi manja, lembek,
seperti sifat stroberi yang lunak, mudah koyak ketika terbentur. Saat
dihadapkan pada tantangan, anak akan rapuh dan mudah menyerah.
Ini akan membuat kita semakin jauh
dari makna manusia berkualitas menurut UU No 20 Tahun 2003, yaitu manusia
terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Dalam konteks sekolah, etos kerja dan
mentalitas menjadi sangat penting ketika seorang anak berada dalam lingkungan
masyarakat, atau ketika berada di bangku perkuliahan. Pendidikan tidak pernah
bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Seperti apa ia ditempa, seperti
itulah kepribadiannya di masyarakat. Kita mewarisi generasi emas palsu, yang
nantinya akan bertindak sebagai pengambil kebijakan (palsu) dan pemecah masalah
(palsu) di masyarakat, seperti nilai (palsu) yang ia terima ketika di bangku
sekolah.
Mari Berbenah
Untuk mengatasi hal
tersebut, kita harus segera berbenah. Menurut saya, harus ada kolaborasi yang
seimbang antara guru (sekolah), orangtua, dan pemerintah. Saya menempatkan guru
(sekolah) di posisi garda terdepan dan pertama dalam upaya mengubah ini semua.
Menurut saya, ada idealisme yang hilang dari guru kita hari ini jika kita
kembali menilik fungsi guru di sekolah, yakni memberikan
pertolongan-pertolongan kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik
itu kompetensi pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.
Pertolongan-pertolongan inilah yang
kini kian sulit diperoleh, seakan semakin mahal. Ada selentingan dari guru
mengenai anak-anak sekarang yang sudah hilang rasa hormat kepada gurunya.
Namun, ada pertanyaan satire, bagaimana siswa bisa menghormati gurunya,
sedangkan ia tidak pernah dididik untuk disiplin, jujur, bekerja keras? Guru
malah mendidiknya dengan ‘tidak mendidik.’ Pesan karakter apa yang ingin kita
sampaikan kepada siswa jika tanpa hadir ke sekolah ia bisa naik kelas; tidak paham
materi bisa mendapatkan nilai bagus. Bagaimana ia bisa menghormati gurunya jika
gurunya tidak mendidik apa-apa, jika tidak mau disebut mendidik kemalasan?
Di barisan kedua adalah orangtua.
Orangtua harus memahami proses dan mendampingi setiap proses itu dengan
kesabaran. Banyak orangtua berambisi meraih prestise dengan mendorong anaknya
harus juara lomba, harus jago matematika. Jika itu terjadi, anak dianggap
berprestasi. Sekolah dianggap berhasil. Tanpa disadari, hal seperti itu
sebenarnya telah menempatkan mereka dalam sebuah jebakan.
Barisan paling fundamental ketiga
ialah pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek. Sejak Kurikulum Merdeka
diluncurkan, sudah banyak produk pendidikan dihasilkan. Semua produk itu
muaranya pada kompetensi lulusan. Kurikulum terus berganti, program peningkatan
guru dengan segala macam nomenklatur, sekolah dengan berbagai label, dan
kesejahteraan guru terus ditingkatkan dengan macam-macam insentif, tidak akan
berdampak apa pun jika proses penilaian di kelas telah jauh dari hakikat
penilaian itu sendiri.
Kurikulum berganti menjadi ini dan
itu, tapi cara mengajar dan menilainya tidak berubah. Mari duduk sejenak,
merefleksi apa yang saat ini sedang kita siapkan sebagai warisan untuk anak
cucu kita.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/520040/kurikulum-ini-itu-dan-penilaian
Belum ada Komentar untuk " Kurikulum ini itu dan Penilaian"
Posting Komentar