Menakar Keberhasilan Belajar Dari Rumah
Menutup Agustus, itu artinya telah
lima bulan kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) dilaksanakan. Setelah melewati
beberapa kali masa perpanjangan, hingga saat ini, BDR masih berlangsung di 57
persen sekolah yang berada di zona risiko sedang dan tinggi.
Membaca data yang dirilis WHO, sejak 2 Maret hingga 20 Agustus
2020, kasus terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia terus bertambah hingga mencapai
144.945 kasus. Untuk Aceh yang sempat di puji pusat, kini menunjukkan angka
yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data-data yang ada, BDR masih belum bisa
diterawang kapan akan berakhir.
Jikapun Program Herd Immunity di luncurkan, yang artinya sekolah dibuka, bukan
berarti masalah selesai, karena terbatasnya ruang gerak aktivitas belajar,
adanya pembatasan-pembatasan yang membuat proses belajar tidak maksimal.
BDR telah membuka seribu cerita ke
publik tentang kondisi pendidikan kita. Terlepas
bahwa sebelum BDR, pendidikan kita juga masih belum mengembirakan. Orang tua
jadi bisa menilai kualitas seorang guru—tak peduli bersertifikat atau tidak,
guru jadi tau peran orang tua dalam pendidikan anak, dinas pendidikan diuji
programnya, kepala sekolah ditantang inisiatifnya, dan siswa dituntut
kemandirian belajarnya.
Dalam tulisan yang singkat ini, mari
sejenak kita melihat kondisi pendidikan kita. Saya perlu menegaskan bahwa isi
tulisan ini adalah sebuah pandangan, bukan penilaian. Sangat terbuka untuk
menjadi bahan diskusi. Bahwa semua pihak perlu rendah diri untuk melihat sejauh
mana peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan BDR.
Sebagai lembaga tertinggi, dinas pendidikan
adalah yang paling bertanggung jawab. Desain kegiatan pembekalan kemampuan
digital guru, menjadi mutlak untuk dilakukan. Harus ada upaya yang masif dan
berkelanjutan. Namun sayangnya, sejak Plt. Gubernur mengintruksikan BDR pada bulan
maret lalu,
belum ada kegiatan yang
secara intens dilaksanakan—jika tidak mau disebut tidak ada. Kemampuan digital
guru berpengaruh besar pada metode pembelajaran yang jika dilaksanakan secara
daring di sekolah.
Bagaimana jika BDR dilakukan secara
luring? Membuat modul belajar dengan target terciptanya suasana belajar yang
menyenangkan, berkesan, dan tidak terbeban dengan target kurikulum, bukanlah
perkara mudah. Apalagi jika selama ini, guru dan siswa tergantung dengan sumber
belajar buku paket. Sehingga kemudian, apa yang berlaku dalam proses belajar?
BDR adalah satu aktivitas yang dimana guru-guru memberikan tugas, dan siswa mengerjakan
tugas-tugas itu. Parahnya, jika tugas yang diberikan berada pada Level Lower Order Thinking Skills (LOTS),
atau dalam bahasa yang lain, hanya menjawab soal-soal dari buku paket. Begitukah
pendidikan yang diharapkan pada masa BDR ini?
Selanjutnya tanggung jawab Sekolah,
dalam hal ini kepala sekolah. Banyak kepala sekolah yang berinisiatif mendesain
kegiatan pembekalan kapasitas guru, terutama dalam kemampuan digital—sekalipun
lebih banyak yang tidak memiliki inisiatif.
Seorang teman yang sedang menempuh
pendidikan doktor di salah satu universitas ternama di Indonesia, bercerita
pada saya akan pengalamannya menawarkan diri untuk memberikan pelatihan kepada
guru di sekolahnya. Apa dinyana, sang kepala sekolah takut jika guru-guru tidak
mau ikut pelatihan. Seperti ada yang mendarah daging di sekolah-sekolah, bahwa
pengembangan kapasitas guru berdasarkan intruksi dari dinas pendidikan.
Gambaran sederhananya, dinas pendidikan mengirimkan surat meminta guru untuk
hadir ke suatu tempat, lalu diberikan pelatihan—dan tentunya uang saku.
Dalam kondisi yang serba terbatas
ini, inisiatif kepala sekolah menjadi harga mati. Inisiatif apapun akan
memberikan dampak, daripada berdiam diri mengutuk kegelapan atau menunggu bala
bantuan.
Tanggung jawab selanjutnya ada pada guru.
Sang pahlawan yang berada di garda terdepan dalam memaksimalkan fungsi sekolah:
proses belajar. Dalam kondisi darurat sekalipun, proses belajar tidak boleh berhenti.
Tantangan terbesar guru ada pada aspek pedagogi: seni menyampaikan materi.
Dalam sebuah aktivitas pembelajaran, guru menentukan tujuan pembelajaran, nah,
disinilah peran seni mengajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Jika program daring, seninya adalah
bagaimana memaksimalkan enggagement
(interaksi dua arah) dalam proses belajar. Untuk program luring, seninya adalah
bagaimana mendesain materi yang ada di modul, dapat menumbuhkan minat belajar dan
kemandirian belajar siswa.
Terbukanya infomasi di internet,
tentunya sebuah kabar bahagia untuk guru. Ada banyak sekali channel Youtube yang dengan gratis
menyediakan konten pembelajaran. Baik itu sifatnya materi pembelajaran, maupun
tutorial penggunakan aplikasi belajar online. Jika sekolah memilih media
belajar menggunakan Google Classroom, misalnya, maka terdapat ratusan tutorial
di Youtube. Pun begitu juga untuk aplikasi belajar online lainnya. Sehingga
disini, seorang guru dituntut untuk memiliki semangat sebagai guru pembelajar. Guru
harus terlibat dalam banyak aktivitas webinar, bergabung dengan komunitas yang
memiliki semangat growing together,
membaca (dan menonton) banyak best
practise, adalah ikhtiar terbaik seorang guru untuk mampu menjadikan
siswanya mencapai tujuan pembelajaran yang direncakan pada setiap pertemuan.
Selanjutnya, kunci suksesnya BDR ada
di orang tua. Peran orang tua adalah sebagai kepala sekolah bagi anaknya. Orang
tua tidak pernah dituntut untuk menggantikan peran guru dalam mengajar. Ia
hanya bertindak memastikan aktivitas belajar anak terlaksana. Mengontrol pola
hidup anak yang berbeda dari biasanya, seperti mengontrol jadwal tidur,
ternyata menjadi kendala utama bagi orang tua. Siswa karena tidak hadir secara
fisik ke sekolah, maka jadwal tidur menjadi tidak jelas. Kelas daring
kesiangan, atau hanya sekedar mengabsen, setelah itu lanjut tidur. Disamping
juga mengontrol penggunaan gadget. Karena belajar daring, gadget sepenuhnya
berada dibawah kontrol anak, yang pada penggunaannya, hanya sebentar untuk
belajar, selebihnya untuk bermain game. Tidak semua orang tua, ternyata, mampu
menangani itu.
Terakhir, siapa lagi kalau bukan,
siswa. Penanggung jawab utama dalam apapun metode belajar yang berlaku. Kendala
terbesar dalam BDR adalah rendahnya kemandirian belajar siswa. Bisa jadi, Ada praktik yang telah sekian lama berlangsung di
sekolah, yang menghambat kemandirian belajar itu. Seperti, siswa yang dalam
proses belajar diberi tahu, bukan mencari tahu. Guru sebagai satu-satunya sumber belajar,
bukan belajar dari berbagai sumber. Tujuan belajar adalah mendapatkan nilai
tinggi, bukan memahami matari belajar dan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal (LOTS), bukan pembelajaran dengan
jawaban yang kebenarannya multi dimensi (HOTS). Belum lagi, dengan alasan
pembelajaran di masa pandemi tidak maksimal, siswa yang tidak ikut belajar
sekalipun, tetap mendapatkan nilai bagus di rapor.
Ketika tidak ada dalam diri siswa
kemandirian belajar, maka beragam masalah akan muncul. Siswa kerap menemukan
kambing hitam dalam kewajiban belajarnya. Pada klimaksnya adalah rendahnya
partisipasi selama BDR. Mari kita mengambil jatah masing-masing sesuai
tanggungjawab dan memperbaikinya. Semoga kualitas BDR tidak ‘meusumpom kali lah’.
Zubir Agam,
Seorang pembelajar di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe.
Belum ada Komentar untuk "Menakar Keberhasilan Belajar Dari Rumah"
Posting Komentar